Latest News

Free West Papua

Free West Papua
Sunday, June 4, 2017

Coretan: Gagasan Kemiskinan Teori Patriarki

Gagasan-Gagasan

Coretan: Gagasan Kemiskinan Teori Patriarki
Baliem Net-- Perempuan direndahkan dengan mendapat upah yang paling rendah dan pekerjaan yang paling tidak membutuhkan ketrampilan, sebagai konsekuensi dari posisinya dalam keluarga. Pekerja laki-laki sering mencoba mengeluarkan perempuan dari pekerjaan trampil tertentu, mengabaikan kebutuhan pekerja perempuan—bahkan mengeluarkan mereka dari serikatnya—dan mengungkapkan ide-ide seksis, seperti yang dilakukan hari ini. Tetapi masyarakat tidak dapat dijelaskan jika kita memulainya dengan gagasan-gagasan yang ada di kepala orang-orang. Kita harus dapat menjelaskan dari mana gagasan-gagasan itu berasal, jika tidak maka kita akan kembali mengatakan bahwa laki-laki secara alami dan tak terelakkan adalah seksis.
Atau secara logis, kita akan mengatakan bahwa perempuan harus menanggung sendiri penindasannya dan penindasan perempuan lain. Karena perempuan sendiri adalah salah satu agen paling penting dari sosialiasi pada anak-anak tentang stereotip laki-laki dan perempuan. Perempuan tidak bebas dari prasangka dan ide-ide yang berlaku tentang peran yang sesuai untuk perempuan. Akan lebih berhasil jika melihatnya sebagaimana yang dilakukan Marx: “Gagasan yang berkuasa di setiap zaman adalah selalu gagasan dari kelas berkuasa.”
Pandangan bahwa laki-laki diuntungkan oleh penindasan perempuan adalah salah satu yang cukup berpengaruh, karena pandangan itu menggambarkan apa yang tampaknya adalah kenyataan dalam kehidupan sehari-hari. Laki-laki bisa sering minum-minum santai dengan teman-temannya sementara istri-istri mereka terkurung di rumah bersama anak-anak yang mengesalkan dan banyak menuntut. Tapi lagi-lagi, seperti yang Marx katakan, “jika tampilan luar dan esensi sudah berkesesuaian”, kita tidak akan membutuhkan teori. Dan Lukacs menggambarkan teori semacam ini, yang dengan sederhana menggambarkan tampilan segala sesuatu di bawah kapitalisme sebagai “kesadaran spontan”.
Persoalan pokoknya adalah mengetahui di mana kekuasaan yang sebenarnya berada, bagaimana pelembagaan stereotip jenis kelamin yang mendasari penindasan perempuan mengakar dalam masyarakat ini, dan siapa yang diuntungkan dari ini. Jika kita sudah mengenali pentingnya keluarga dalam mereproduksi tenaga kerja bagi kelas kapitalis, akan menjadi lebih mudah untuk mengerti bahwa bukanlah laki-laki sebagai individu yang diuntungkan dari peran perempuan sebagai ibu rumah tangga dan ibu. Ketika perempuan bekerja di rumah, mereka sedang menjalankan fungsi ekonomi paling penting bagi kapitalisme. Karena dipisahkan dari “kerja” ke dalam ranah kehidupan “pribadi”, peran ini menjadi dianggap tidak penting dan diremehkan.
Masyarakat mengatakan bekerja di rumah itu tidak penting, tanpa status, sehingga mereka yang melakukannya kurang berguna bagi masyarakat daripada mereka yang bekerja demi upah. Teori yang mengatakan bahwa kerja ini sekadar untuk memenuhi kebutuhan individual laki-laki (meskipun banyak yang mendukung ide ini) adalah cerminan dari pandangan yang berlaku tersebut, karena teori itu terlalu mengabaikan peran ekonomi yang sangat penting dari keluarga dalam reproduksi tenaga kerja.
Ketimbang berkonsentrasi hanya pada masa ketika pekerja laki-laki menanggapi secara keliru kekhawatiran mereka bahwa perempuan akan digunakan sebagai buruh murah, lebih penting menyoroti bahwa karena gencarnya kampanye tentang keluarga yang dilakukan oleh kalangan “terhormat”, mengejutkan bahwa pekerja pernah bersikap patuh sama sekali.
Faktanya, ide-ide yang sesungguhnya hanya melayani kepentingan kelas majikan biasanya merasuk ke kesadaran kelas pekerja—ide-ide seperti seksisme dan rasisme bersamaan dengan homofobia, nasionalisme dan sektarianisme agama. Ini bukan hal yang mengejutkan jika kita mengingat tentang kendali kaum kapitalis atas seluruh alat penyebaran gagasan berskala luas, dan kekuasaan mereka atas kekayaan material masyarakat.
Penerimaan ataupun penolakan ide-ide kaum kapitalis oleh pekerja tergantung pada banyak faktor seperti tingkatan perjuangan kelas, intervensi oleh pekerja yang memiliki ide berlawanan, dua di antaranya yang sangat penting. Kita tidak membutuhkan teori patriarki untuk menjelaskan mengapa pekerja laki-laki mengambil ide-ide yang berlawanan kepentingan keseluruhan kelas mereka.
Rasisme telah merusak kelas pekerja Australia. Ini adalah kesalahan yang lain yaitu tanggapan pekerja pada upah murah yang semestinya menjadi ancaman, kali ini yang dilakukan oleh pekerja pendatang (khususnya dari Asia). Agar logis, kaum feminis harus menjelaskan ini dengan struktur kekuasaan yang lain—yaitu (kekuasaan) pekerja kelahiran Australia atas kaum imigran. Pandangan semacam ini membawa pada suatu kekacauan struktur kekuasaan—yang diterima oleh pengikut Foucault—yang bukannya memperjelas, malahan mengacaukan persoalan ini.
Kelemahan yang menonjol dari teori patriarki adalah tidak adanya perwujudan organisasional dari kekuasaan patriarkal. Di manakah sarana-sarana informal dan formal untuk mengkoordinasikan dan mengendalikan kekuasaan ini? Memang benar bahwa ada club-club yang hanya berisi lelaki. Tetapi yang paling terkenal tentu saja terbatas hanya untuk anggota dari kelas berkuasa. Tidak ada pekerja selain pelayan, koki dan lain-lain yang sering mengunjungi Melbourne Club. Bahkan tempat-tempat berkumpul informal semacam pub-pub dibagi-bagi berdasarkan kelas. Robert Holmes a’Court tidak berbaur dengan buruh-buruh dermaga di bar-bar murah. Diperjelas lagi dengan kehebohan jika orang “penting” mengunjungi pub-pub buruh dan pemberitaan peristiwa itu menjadi atraksi media.
Bahkan organisasi-organisasi yang pernah dimiliki buruh laki-laki tidak cukup kuat untuk mempengaruhi hasil dari peristiwa bersejarah di masa ketika keluarga sedang dibangun. Hanya 20% buruh yang pernah berserikat sebelum 1890. Selama krisis 1890-an, serikat-serikat buruh dihancurkan dan hampir tidak mungkin terus bertahan. Yang paling terorganisir adalah para buruh trampil yang terkenal buruk karena menjauhkan perempuan dari pekerjaan mereka. Tetapi mereka tidak hanya menjauhkan perempuan. Mereka juga mencoba menghambat anak laki-laki dari buruh yang lain dengan syarat-syarat yang membatasi buruh magang.
Akan tetapi, bahkan pekerja-pekerja yang relatif terorganisir baik ini pun tidak dapat menentukan kondisi tenaga kerja dalam jangka panjang. Selalu majikan lah yang menentukan perubahan mendasar dalam pola-pola kerja. Contohnya, pembuatan sepatu boot awalnya adalah wilayah kerja yang membutuhkan ketrampilan, dikerjakan kebanyakan oleh laki-laki. Selama bertahun-tahun para bos mempreteli ketrampilan dari pekerjaan itu dengan penggunaan teknologi baru. Ini menyebabkan industri ini menjadi wilayah kerja buruh perempuan.
Ryan dan Conlon memberi laporan menarik tentang bagaimana para majikan memisah-misahkan pekerjaan menjahit, mempekerjakan perempuan dengan upah yang sangat rendah dan menggunakan aturan-aturan menyangkut permagangan selama depresi ekonomi tahun 1890-an.[55] Pada akhirnya, dengan diperkenalkannya mesin-mesin dan melanjutkan proses ini, pembuatan pakaian semakin didominasi oleh buruh perempuan berupah rendah.
Kita dapat melihat dengan cara lain bahwa selalu kebutuhan dari kapital lah yang menentukan sifat-sifat kerja. Selama depresi ekonomi 1890-an, posisi pekerja perempuan terlihat makin buruk jika dibandingkan dengan laki-laki. Tetapi dalam krisis serupa tahun 1930-an, seringkali perempuan yang dapat terus bekerja sementara laki-laki menghabiskan waktu yang panjang sebagai pengangguran. Sebagian besar laporan tentang Depresi Besar membicarakan tentang penderitaan yang disebabkan oleh pembalikan peran ini dalam banyak keluarga. Dan sepanjang kejatuhan terakhir di awal delapan puluhan di Australia, menjadi tradisi bahwa laki-laki yang mengalami PHK massal.
Selama Perang Dunia II, perempuan masuk ke dunia kerja dalam jumlah besar, mengerjakan pekerjaan yang biasanya hanya untuk laki-laki. Sesudah perang, media meluncurkan kampanye besar untuk membangun kembali peran perempuan di rumah dan menekankan tempat laki-laki di pekerjaan stereotip yang lama. Setelah kemajuan pesat pasca Perang Dunia II, perempuan ditarik ke dalam dunia kerja dalam jumlah yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Oleh karena sifat-sifat dari beberapa industri yang paling berkembang, perempuan dikonsentrasikan pada pekerjaan-pekerjaan administratif yang sebelumnya terutama diperuntukkan bagi laki-laki.
Mustahil memahami kenyataan ini dengan sudut pandang teori patriarki. Mengapa laki-laki memutuskan sebagai suatu keseluruhan untuk mengizinkan perempuan memasuki dunia kerja pada suatu waktu, dan menarik mereka keluar di waktu yang lain, mengkonsentrasikan perempuan dalam pekerjaan-pekerjaan tertentu yang sebelumnya dikerjakan laki-laki? Mengapa pekerja laki-laki setuju membiarkan perempuan memasuki beberapa industri? Mengapa mereka setuju mengizinkan pekerjaan mereka dimutakhirkan dan kondisi kerja diturunkan? Mengapa mereka tidak menuntut agar diberi pekerjaan-pekerjaan perempuan oleh sekutu laki-laki mereka dari kelas majikan? Bahkan pertanyaan-pertanyaan ini pun tidak masuk akal.
Baik perempuan maupun laki-laki dapat terbuang dari pekerjaan kapanpun bergantung pada industri mana yang terhantam paling keras oleh ledakan krisis. Ketika kelas berkuasa ingin mempertahankan kepentingannya dari kelas berkuasa berkebangsaan lain dalam peperangan, itu membutuhkan perempuan untuk menggantikan pekerja laki-laki yang mereka kirim untuk mati demi mereka. Di mana pun yang memungkinkan untuk memutakhirkan kerja dan menekan upah, seringkali mempekerjakan perempuan menjadi strategi yang berhasil bagi para bos. Dalam setiap titik, bukan kepentingan laki-laki yang dimajukan, melainkan kepentingan kapital dengan dorongan berkelanjutannya untuk mengejar keuntungan.
Catatan : Sugi
Sumber: FB Rudhy Pravda
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Post a Comment

Item Reviewed: Coretan: Gagasan Kemiskinan Teori Patriarki Rating: 5 Reviewed By: Unknown