Poin yang ingin disampaikan adalah jaringan relasi sosial yang terjalin antara para elite dan komunitasnya selalu problematis dan penuh dengan kuasa di dalamnya. Kekuasaan yang terbangun dari semangat representasi (keterwakilan) ini juga penuh dengan permasalahan karena berbagai macam kepentingan.
Oleh I Ngurah Suryawan
BERBAGAI tingkah polah para elite lokal Papua yang saya sempat temui dalam mendemonstrasikan siasat-siasat untuk merebut kekuasaan ekonomi politik mengundang pertanyaan besar. Sebenarnya, darimanakah perilaku itu lahir dan berkembang begitu leluasa di tengah masyarakat?
Bujuk rayu kekuasaan memang tak terhindarkan, namun praktik-praktik di tingkat akar rumput menjadi bahan pembelajaran penting untuk memahami cara kekuasaan bekerja melalui orang-orangnya (egency). Praktik para elite menjadi cermin bagi komunitasnya dalam melakukasi relasi (hubungan) sosial. Dasar-dasar dari relasi sosial inilah yang sepatutnya diperhatikan dalam praksis kebudayaan di tengah komunitas.
Di sisi yang lain, laju perubahan sosial budaya di berbagai wilayah di tanah Papua jelas tidak terhindarkan. Setting (latar) ini sungguh penting untuk dicermati dalam memberikan konteks begitu kompleks (rumitnya) permasalahan dalam mengurai sekaligus memahami relasi-relasi sosial di Papua kontemporer. Esai ini berusaha memahami gejala relasi sosial yang terjadi dalam Papua kontemporer, terkhusus melihat relasi-relasi sosial yang terbina selama ini antara para elite masyarakat dengan komunitasnya. Dalam usaha memahami relasi ini, mencoba digunakan perspektif kuasa (power) dan penjajahan (colonization) di dalamnya.
Poin yang ingin disampaikan adalah jaringan relasi sosial yang terjalin antara para elite dan komunitasnya selalu problematis dan penuh dengan kuasa di dalamnya. Kekuasaan yang terbangun dari semangat representasi (keterwakilan) ini juga penuh dengan permasalahan karena berbagai macam kepentingan. Akhirnya, yang terjadi justru praktik penjajahan secara halus sesungguhnya terjadi karena berbagai godaan kekuasaan. Relasi yang penuh baku atur dan kolonialistik ini hanya bisa diputus dengan semangat perubahan sosial bersama-sama antara para elite dan komunitasnya, sehingga saling merekognisi (mengakui) benar-benar terjadi. Namun lagi-lagi, kita semestinya sejak awal memperhatikan dengan jernih sekaligus kritis pondasi relasi social tersebut terbangun.
Kuasa yang Halus
Di sebuah kampung wilayah teluk Provinsi Papua Barat, saya menyaksikan dengan seksama sebuah fragmen yang menggambarkan bagaimana hasrat kekuasaan para elite kampung untuk mengakses institusi-institusi modern yang disiapkan oleh negara. Perebutan kuasa tersebut berawal dari “kekalahan” mereka menghadapi serangan kuasa investasi global berwujud perusahaan-perusahaan. Satu hal lagi yang tidak bisa dilupakan adalah cara-cara yang mereka praktikkan secara halus dan beroperasi lewat jaringan yang berada di lingkungan masyarakat dan birokrasi kekuasaan.
Saya menjadi ingat apa yang disampaikan oleh Foucault bahwa kekuasaan bukanlah sesuatu kapasitas atau entitas yang dimiliki oleh satu pihak, yang kemudian dapat ditransfer atau diambil alih oleh pihak yang lain. Bagi Foucault, kekuasaan diibaratkan dengan sebuah jaringan yang tersebar di mana-mana. Jadi, kekuasaan tidak datang secara vertikal dari penguasa terhadap yang ditindas, dari pemerintah ke rakyat, melainkan datang dari semua lapisan masyarakat, dari dan ke segala arah. Segala jenis hubungan dan interaksi, bagi Foucault, juga berkaitan dengan kekuasaan. Kekuasaan ini mengejewantah dalam bentuk-bentuk diskursif, yakni melalui wacana. Sebagai modus untuk menyampaikan atau mengaktualisasikan pengetahuan, wacana secara langsung atau tidak langsung memproduksi kekuasaan, dan kekuasaan tak mungkin beroperasi tanpa pengetahuan. Konsep kekuasaan Foucault yang bersifat kompleks dapat menjadi acuan teoritis pendekatan pascakolonial untuk mengurangi kecenderungan dikotomis dari oposisi biner.
Di tengah operasi kekuasaan yang halus itulah tercipta jejaring di tengah masyarakat yang tidak bisa lepas dari kekuasaan. Hampir mustahil kita menyaksikan wilayah-wilayah yang steril dari kekuasaan. Foucault menyebutkan bahwa kekuasaan itu tidak terkonsentrasi pada satu kekuatan namun menyebar dengan lentur dan dalam setiap ruang dan waktu. Di tengah operasi kekuasaan itulah menjadi sangat penting untuk memperhatikan riak-riak resistensi atau perlawanan di dalamnya, selain tentunya sejarah penjajahan dan kekerasan yang berlangsung. Praktik penjajahan (kolonisasi) memantik gairah perlawanan dimana-mana, begitu juga dengan kekerasan yang menstimulasi orang yang tertindas untuk bangkit melawan.
Dalam sejarah penjajahan dan kekerasan yang berlangsung dalam peradaban ini, juga melibatkan ilmu pengetahuan di dalamnya yang mereproduksi penjajahan dan kekerasan dalam dunia akademik. Oleh sebab itulah lahirnya studi-studi tentang orientalisme yang mengkritik jurang pemisah antara dunia “Barat’ dan “Timur” sebagai wilayah yang maju di satu sisi dan terkebelakang di sisi yang lainnya. Jurang keterbelahan inilah yang menyebabkan tidak akan pernah berakhirnya persoalan penjajahan, diskriminasi, dan kekuasaan secara umumnya. Gerakan mengkritik warisan-warisan peninggalan kolonialisme itulah yang sering disebut dengan pascakolonialisme.
Salah satu terminologi penting dari wacana pascakolonial adalah wacana tentang perlawanan (resistance) terhadap kekuatan-kekuatan kolonial. Jika dalam proses dekolonisasi terjadi pembalikan posisi dan perlawanan yang prosesnya tidak sederhana dan drastis. Perlawanan tidak serta-merta menghasilkan suatu wacana alternatif yang radikal. Seringkali, “perlawanan” didasarkan atas struktur yang ganda, seringkali bersikap kontradiktif, tidak selalu mudah dipilah karena bersifat tidak lengkap, tidak selesai, ambigu dan seringkali berkompromi dengan aparatus yang ingin dibongkarnya. Berdasarkan batasan ini, pendekatan pascakolonial tidak menutup diri terhadap praksis dan wacana yang bersifat ambivalen, tidak seutuhnya berisi pemberontakan total. Batasan ini juga sesuai dengan temuan Fanon tentang ketidakstabilan dalam formasi identitas di masa pendobrakan kolonial, dan juga pembahasan Memmi tentang posisi ambivalen penjajah yang membenci penjajahan (Budianta, 2008: 24-25).
Dalam konteks yang lebih luas, resistensi yang dimaksudkan bisa saja mendekonstruksi (membongkar) keseluruhan tatanan adat dan sosial budaya yang telah ada sebelumnya. Namun hal itu haruslah dilakukan untuk menelusuri dan membongkar kembali warisan dari rezim penjajah yang tanpa sadar kita praktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itulah menjadi sangat penting dalam konteks Papua memperhatikan tingkah laku para elite Papua yang mewarisi sifat-sifat para penjajah dalam kehidupannya berelasi dengan masyarakat. Praktik kolonisasi ini akan sangat berpengaruh terhadap masa depan Papua ke depannya.
Penulis adalah Staf Pendidik/Dosen Jurusan Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat
0 comments:
Post a Comment