Oleh: Socratez Sofyan Yoman)*
Apakah otoritas Gereja dan Negara itu sama? Kalau jawabannya sama, dimana persamaannya? Kalau jawabannya tidak sama, dimana perbedaannya?
Persamaannya adalah Gereja dan Negara sama-sama berada dalam dunia realitas; sama-sama melayani masyarakat yang sama. Gereja sebut “umat Tuhan” dan Negara menyebut “rakyat”. Tujuannya adalah kebaikan umat Tuhan atau rakyat itu sendiri.
Perbedaanya ialah otoritas Negara terletak pada Undang-Undang yang dibuat atas pikiran dan kesepakatan manusia. Undang-undang itu sewaktu-waktu dapat diamandemen/diganti sesuai tuntutan zaman dan kebutuhan Negara itu. UU itu bisa dilawan oleh rakyat. UU itu bisa runtuh pada saat pemerintahan sudah berada dalam kondisi stagnant.
Selain UU, negara juga mempunyai otoritas melalui alat pertahanan negara seperti: AD, AU, AL, dan Kepolisian. Otoritas undang-undang dan aparat keamanan adalah untuk menjamin Negara aman, tertib dan keberlansungan hidup rakyat dalam sebuah negara.
Otoritas Negara juga didukung dan diperkuat universitas, pers, NGO, agama dan juga gereja. Sebaliknya, Lembaga-lembaga yang tdk mendukung dan memperkuat otoritas Negara, dia dibabat habis oleh Negara dengan menggunakan berbagai instrumen dan kekuatan yang negara miliki. Banyak media yang dibrendel, NGO yang dimusihi Negara.
Otoritas Negara juga didukung oleh rakyat yang taat pada hukum. Otoritas negara semakin kuat apabila dukungan dan legitimasi rakyat juga kuat. Kalau rakyat tidak loyal Negara menggunakan kekuatannya untuk menekan rakyat dan harus tunduk pada otoritas negara.
Negara juga tidak senang apabila ada pemimpin Gereja yang tidak seirama dengan otoritas Negara. Pemimpin Gereja yang kritis terhadap otoritas Negara harus diberhentikan dari posisinya sbg pemimpin Gereja. Negara menghendaki Gereja juga tunduk pada otoritasnya. Otoritas Gereja tidak boleh melebihi dari otoritas Negara.
Kita tahu pengalaman intervensi Negara dalam Gereja Huria Kristen Batak Protestan pada 1990-an, Negara menggunakan otoritasnya mendukung Pdt. Dr. PWT Simanjuntak sebagai Eforus. Sementara otoritas Negara melawan Pdt. Dr. SAE Nababan yang berdiri pada konstitusi,prinsip gereja, sejarah gereja, iman dan hati nurani. Negara tidak menghendaki pemimpin gereja seperti Pdt. Nababan. Negara membutuhkan pemimpin Gereja yang bisa diatur sesuai dengan kemauan Negara.
Contoh kasus lain adalah Persekutuan Gereja-Gereja Baptis West Papua. Sejak 1998, saya menjadi Sekretaris Umum masa bakti 1998-2002. Setelah saya terpilih sebagai Sekretaris Umum, saya membuat pernyataan di media yang membuat gereja di West Papua terkejut. Lebih terkejut dan marah adalah beberapa anggota Gereja Baptis. Pernyataan saya dimuat Headline/Berita Utama : Dua Isu Sentral Menggema di Papua: Papua Merdeka dan Otonomi Khusus (Cenderawasih Pos, Selasa, 25 Januari 2000).
Saya terus menyampaikan suara kenabian/propetis di media sejak tahun 2000. Saya dgn konsisten bersuara melawan kekerasan negara dan ketidakadilan. Pada 2002 saya terpilih sebagai Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja Baptis Papua. Saya sudah mendapat legitimasi Warga Baptis lebih luas. Saya terus bersuara dimana saja, kapan saja melawan kejahatan Negera di West Papua.
Karena saya terus bersuara dimana-mana, pada 2007 ada intervensi Negara dengan memakai beberapa orang Baptis untuk melawan kepemimpinan saya. Mereka memunculkan pemimpin utk kepentingan Negara Pdt. Perinus Kogoya, Dip.Th. dan sekarang diganti dgn Titus Yikwa, S.Th.
Walaupun intervensi Negara dengan menggunakan kekuatan aparat keamanan, menggunakan beberapa bupati warga Baptis dan menggunakan anggota serdadu dari warga Baptis, namun, sayang, mereka belum berhasil turunkan saya dari Ketua Umum. Saya sudah dipilih pada 2002-2007, 2007-2012, 2012-2017.
Dan saya akan lanjutkan melayani dari 2017-2022, karena pada perayaan 50 Tahun Gereja Baptis Papua pd 14 Desember 2016 di Makki, Lanny Jaya, West Papua yang dihadiri 70.000 warga Baptis dari 310 Gereja menyatakan saya didukung menjadi Gembala mereka periode keempat.
Kita kembali pada otoritas Negara. Jadi Negara tidak senang dengan pemimpin Gereja yang tidak ada ketaatan pada otoritas hukum yg dibuat oleh manusia. Jadi pemimpin Gereja seperti Pdt. Dr. SAE Nababan dan Dr. Socratez S. Yoman, MA itu dinilai Negara adalah pembangkang “kepala batu.”
Pertanyaannya adalah mengapa Pdt. Dr. SAE Nababan (HKBP) di tahun 1990-an dan Dr. Socratez Sofyan Yoman, MA di tahun 2000-an tidak disukasi oleh Negara? Apakah pak Nababan dan pak Yoman tidak loyal pada otoritas Negara? Apakah Gereja harus harus loyal dan tunduk pada otoritas Negara?
Jawaban dari beberapa pertanyaan tadi adalah TIDAK. Mengapa Gereja TIDAK tunduk pada otoritas Negara? Jawabannya adalah Gereja bukan didirikan oleh manusia. Gereja didirikan atas fondasi otoritas Ilahi. Artinya Gereja didirikan oleh Tuhan.
” Aku berkata kepadamu, Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kau ikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kau lepaskan di dunia akan terlepas di sorga” (Matius 16:18-19).
Dengan singkat, otoritas Negara berada atas dasar konstitusi/undang-undang dibuat dengan pikiran manusia, tangan manusia dan juga berdasarkan konsensus manusia.
Tetapi, Gereja mempunyai otoritas ilahi. Gereja didirikan oleh Tuhan Yesus Kristus sendiri di atas iman orang-orang percaya. Alam maut (otoritas Negara) tidak akan menguasai Gereja. Ada kunci Kerajaan Sorga yang diberikan kepada Gereja. Jadi, Dr. SAE Nababan dan Dr. Socratez Sofyan Yoman, MA punya hak istimewa sedang memegang Kunci Kerajaan Sorga. Otoritas Kerajaan Sorga. Sedangkan pemerintah tidak ada hak dan kuasa istimewa memegang Kunci Kerajaan Sorga.
Selamat menikmati reflekasi ini.
Penulis adalah Ketua Umum/Presiden Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua. Alamat: Ita Wakhu Purom, Numbay (Jayapura), West Papua.
Sumber: www.suarapapua.com
0 comments:
Post a Comment