Cerpen Topilus B. Tebai
DARI
AWAL aku memang mencurigai bahwa kegilaannya itu adalah buatan. Dia dahulu
temanku sebangku saat kami di SMP YPPK Santo Fransiskus dari Asisi Moanemani. Aku memang kenal perempuan ini.
“Suanggi datang ...” lalu semua pengunjung
pasar tumpah berlarian masing-masing menjauh ke segala arah. Maria namanya, dia
yang mereka takuti.
Aku
lihat rambutnya yang acak-acakan.
Pakaiannya lusuh dan kotor. Tampak dari sorot matanya, ia kurang istirahat.
Wajahnya tegang. Seperti diperintah atasanku, aku bergegas menggerakkan kaki
mendekati sahabat lamaku itu.
“Maria
...”
Aku
menegurnya. Dia tetap tidak mendengarku. Aku pikir, Maria mendengarku dan berpura-pura
tidak mendengar.
“Maria...”
Dari
dekat, aku memanggil namanya. Dia menoleh ke arahku. Aku kemudian menatapnya.
Maria tersenyum menyeringai, memandang ke sekelilingnya, memaki dan mengutuk
manusia-manusia di sekeliling kami yang mengutuki, mencaci dan memperlakukannya
bagai binatang itu, dan kemudian dia lemas jatuh ke depanku.
Spontan
aku memeluknya dan ini menjadi tontonan menarik dan bahan olokan super enak
bagi mereka. Makian, teriakan dan cemoohan datang tanpa diundang dan aku seakan
menjadi kebal dengan semua itu. Aku papah perempuan itu menuju rumahku.
Tinndakanku
ini awalnya bahkan belum aku rencanakan. Terbersit di benak pun tidak. Ini
semua spontan. Maria telah menutup matanya dan aku memapahnya menuju rumah,
melewati kerumunan orang.
Sampai
di rumah kubaringkan Maria di tempat tidur dan kemudian aku ke dapur untuk
mempersiapkan makan malam buatku. Tanpa seorang isteri seperti hidupku saat ini
memang enak-enak susah. Aku hanya optimis bisa menjalani ini semua, sambil
berharap suatu saat Tuhan mengirimkan
malaikat untuk menjadi pendamping hidupku.
Mengenai
Maria, kabar keganasannya dalam kegilaannya telah aku dengar bahkan sebelum aku
pulang dari Makassar. Selama aku kuliah di sana, aku dengar banyak hal mengenai
kegilaan Maria.
Pernah
suatu saat seorang kepala Distrik datang ke pasar hendak belanja. Kemudian
Maria ini datang mengambil lumpur dari tempat sampah dan kemudian melempari
sang kepala distrik tepat di dadanya sambil berteriak, "Kau penghisap darahku,
urat nadiku, ko pergi saja ke tanah airmu di sana," dan sambil menunjuk arah barat
dengan tangannya, "jangan kau injakkan tanahku ini lagi."
Atas
perlakuan ini, pasukan SatPol PP bekerjasama dengan polisi menangkap Maria,
menyiksa dia dengan lumpur, air dan strom listrik di depan sang kepala distrik
yang memandanginya dengan senyum, dan kemudian dilepaskan.
Setelah
lepas, giliran sang kepala distrik yang jatuh sakit, hampir meninggal. Dia
memanggil dukun, dan kemudian sembuh. Tapi kabar yang bereder juga lain.
Menurut kabar burung, Kepala Distrik sembuh lantaran meminta maaf kepada Maria
atas siksaan dari Polisi dan Satpam itu dan itu sesuai petunjuk sang dukun yang
mengobatinya.
Entalah.
Yang jelas, Maria, perempuan yang
‘kurang waras’ itu ada di rumahku. Aku memang agak menyesal mengambil tindakan
demikian.
Aku
juga pernah dengar perihal tingkahnya. Maria, kata teman kuliahku ketika aku di
Makassar, Dia pernah membongkar sebuah
kios milik pedagang Jawa. Banyak versi yang aku dengar mengenai cerita ini.
Ini cerita yang berawal dari seorang perempuan tua yang menjual cabai.
Ketika
proses jual beli itu terjadi depan kios, seorang penjaga kios menertawai perempuan
tua itu lantaran dia menggunakan bahasa Mee dan mencampurnya dengan bahasa Indonesia
yang agak patah-patah, dengan maksud agar si penjual ini memahami maksudnya
yang ingin menukar langsung cabai dengan garam dan minyak, tidak dengan uang.
Tertawaan
ini yang akhirnya menjadi malapetaka. Maria mendobrak pintu dan masuk dan menampar perempuan yang menertawai perempuan
tua itu. Tidak hanya menampar, Maria kemudian menendangnya sambil menangis.
“Kurang
ajar kau. Ko pergi sudah ke ko pu tanah. Ko makan, tinggal hidup di tanah sini
baru, ko tertawakan orang sini lagi, ko pergi sekarang juga,” begitu sahabatku menirukan kata-kata Maria kala itu.
Ketika
aku menginjakkan kaki di sini, Moanemani, aku lihat dua pandangan berbeda soal
Maria dan kegilaannya.
Banyak
orang menilai Maria awalnya sebagai seorang yang gila, dan seperti orang gila
pada umumnya, mereka memaklumi tindakan-tindakannya yang tidak seperti manusia
waras. Mereka umumnya acuh tak acuh dengan semua yang dilakukan Maria.
Kelompok
kedua malah menilai Maria sebagai pahlawan. Mereka tampaknya menilai Maria dari
tindakannya, perkataannya dan sikapnya yang kadang lebih berpihak kepada
masyarakat Moane yang kecil dan difabel.
Kelompok
ini makin lama makin besar, apalagi setelah aksi Maria beberapa bulan lalu di
kantor bupati itu, yang berakhir dengan hukuman penjara sehari untuk Maria
disertai ancaman hukuman yang lebih berat lagi. Hal itu terjadi karena Maria
mencegat bupati yang hendak pulang dari kantor jam 10 pagi, setelah ke kantor
jam 8 pagi.
“Tidak
bisa. Bapak harus kerja di kantor sampai jam 2. Tidak bisa. Bapa tidak boleh
lewat. Saya pilih bapak itu untuk apa?” begitu teriak Maria kala itu. Dan
kalimat itu kemudian berkumandang di seantero Moanemani, dari mulut ke mulut,
menjadi buah bibir masyarakat.
***
KEMARIN, aku lihat Maria melumuri
tubuhnya dengan darah, dan di depan banyak orang, dia memeluk Letnan Sudardjo,
pimpinan Kopassus di Moanemani, hingga darah ayam yang penuh di seluruh
tubuhnya mengenai tubuh sang Letnan.
Aksinya
tidak sampai disitu. Maria menghilang, dan balik ke tempat sang Letnan sibuk
membersihkan tubuhnya dari darah tersebut dengan sebuah botol penuh darah.
Penutup botol dibuka, dan darah dimandikannya ke tubuh sang Letnan, dari kepala
hingga ke ujung sepatu. Darah bercecer di seluruh tubuh Letnan. Bau amis darah
menyebar.
“Lihat
sudah. Marius dia yang bunuh. Lukas juga, dia yang bunuh. Sabinus yang di Pugatadi
dia juga yang bunuh. Yang dia pu mayat kamu temukan di pinggir kali Tuka itu,
Petrus, itu dia juga yang bunuh. Lihat dia pu tanggungan darah itu,” begitulah
Mari berteriak.
Dan
sambil menunjuk sang Letnan, Maria memaki dan terus memaki. Sang Letnan
kemudian berlari menuju Maria dan cabut pisau sangkurnya, tetapi masyarakat
yang ada di situ menahan sang Letnan dan mengantarnya ke markas.
Kata
mereka, sang Letnan memaki dan memaki Maria hingga dia tiba di markas. Aku
tidak tahu kelanjutannya. Aku bawa Maria ke rumah dinasku. Setelah masak, saya
ajak Maria makan.
Dia
makan dengan cepat. Sehabis makan, Maria
memandangku agak lama.
“Johannes,
ko saya punya teman SMP. Kita satu bangku. Terimakasih atas ko pu makanan ini.
Ini makanan terakhir yang akan membuatmu tidak akan melupakan saya.”
Kalimatnya
mirip kata-kata terakhir Yesus Kristus sebelum menderita sengsara, wafat, dimakamkan,
sebelum akhirnya mengalahkan maut dengan bangkit dari antara orang mati pada
hari ketiga.
Tepat
setelah kalimatnya berakhir, pintu diketok. Maria menyalamiku, dan dengan
bergegas membuka pintu. Kelebat kulihat manusia berbaju loreng, dengan senjata
di tangan. Aku gemetar. Wajah dia yang telah ‘dibaptis’ maria dengan darah di
tengah pasar itu kemudian terlintas di benakku.
Esok
harinya, mayat Maria ditemukan terapung di kali Tuka, tepat di pinggir pasar mama-mama Moanemani,
dekat gorong-gorong. TAMAT.
Shioo...
ReplyDeleteKawan sa izin reupload di sa punya halaman fb bisa kah?