Merayakan HUT RI dalam Gubuk Otsus Papua yang Lapuk
Melihat Kembali 71 Tahun Indonesia Merdeka di Tanah Papua.
Ilustrasi Bendera dan peta papua
Oleh: Abeth A. You
Sudah 71 tahun Republik Indonesia merdeka.
Terhitung sejak 17 Agustus 1945 hingga 17 Agustus 2016 dan dua puluh
sembilan lagi seabad.
Berbagai cara ditempuh guna mengubah bangsa Indonesia menuju
perubahan secara universal. Tak dipungkiri membangun suatu negara yang
beradap membutuhkan waktu yang amat lama.
Luas wilayah negara kita menjadi kendala utama untuk mewujudkan
pemerataan pembangunan secara berkeadilan. Hampir sebagian besar sudut
wilayah Indonesia masih saja terlihat belum dijamah tangan Pemerintah.
Itulah perjuangan yang mesti dipahami bersama. Bahwa negara berkembang
seperti Indonesia haruslah demikian.
Peradabaan menuju perubahan adalah perjuangan yang manakalah semua
komponen terus berusaha menunjukkan adanya eksistensi kehidupan manusia
bangsa Indonesia. Mulai dari presiden RI pertama hingga saat ini,
melalui lembaga-lembaga negara terus memperlihatkan program demi
perubahan tersebut.
Terutama di era Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua dan Provinsi
Papua Barat, manusia Papua hidup dalam rumah Otsus mulai lapuk tanpa
bekas. Salah satunya adalah soal pendidikan.
Di pelosok wilayah Papua yang tidak menguntungkan bagi warga-warga
yang mendiaminya proses pendidikan dalam bingkai Otsus terus bergejolak
akibat kesenjangan yang lahir dari para petinggi Papua di tanah ini.
Sangat sedih, menapaki sejumlah daerah di pelosok bangsa ini. Mereka
tidak menerima pendidikan selayaknya sebagai bagian dari negara
Indonesia. Salah satu merupakan bagian keperihatinan kita. Situasi ini
terus menghantui proses pembangunan manusia di negara ini. Beragam
program terus diluncurkan demi peningkatan sumber daya manusia. Namun
sayang semua ini tinggal kenangan belaka.
Membuka Sekolah Guru Gratis
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Mendikbud RI)
terus mencari formula guna membangun manusia Indonesia yang seutuhnya.
Dari pembagian Biaya Operasional Sekolah (BOS), perbaikan gizi anak-anak
sekolah, pembangunan gedung-gedung sekolah dan perumahan staf pengajar.
Semua itu hanyalah tinggal bangunan fisik yang dihuni oleh kakarlak,
tikus dan binatang lain. Sebab masalah mendasarnya belumnya ditangani
serius yakni kekurangan guru.
Potret Pendidikan di Papua
Kekurangan tenaga pengajar menjadi buah bibir masyarakat kita. Semua
komponen membicarakan hal itu. Manakalah berbagai formula secara
swadaya masyarakat terus dilakukan. Semua ini hanyalah untuk kepentingan
pembangunan manusia. Contohnya, para tamatan SMP dan SMA dijadikan
tenaga pengajar di sekolah-sekolah berkelas kecil di pedalaman Papua.
Mereka adalah para pemuda dan pemudi yang terpaksa tinggal di kampung
karena keterbatasan biaya kuliah.
Soal pembangunan fisik (gedung) bukan solusi menyelesaikan masalah pendidikan. Sebab, masalah utama adalah kekurangan guru.
Pemerintah Indonesia mesti mencari solusi atau formula baru untuk
mencetak guru-guru yang nantinya kembali ke kampung masing-masing.
Misalnya, membuka sekolah guru dasar gratis selama satu priode. Mereka
yang masuk kuliah adalah mereka yang kini tengah pengabdi sebagai guru
sukarela di kampung-kampung yang nota benenya adalah tamatan SMP dan SMA
tersebut.
Sangat terlihat, keterlibatan masyarakat Papua dalam pembangunan
tidak terlihat dan tidak berdaya karena digenggam oleh para petinggi
orang Papua yang kini sebagai tuan rumah Otsus. Porsi orang Papua
dialihkan kepada para migran (pendatang). Hal itu sangat terlihat dalam
pembangunan kontruksi sebagai pihak ketiga (kontraktor). Para petinggi
di Papua memberikan semua kegiatan (proyek) pembangunan kepada warga
migran. Kontraktor pribumi menjadi penonton di tengah mengalirnya dana
Otsus bagai air sungai yang deras. Para pengusaha lokal selalu
menyampaikan kepada para pimpinan di Papua. Bahkan, mereka membentuk
berbagai organisasi pengusaha lokal agar mendapat penguatan hukum demi
mendapat perhatian. Namun semua itu tinggal kenangan belaka. Akibatnya,
para pengusaha lokal selalu memalang sebagai bukti protes atas
ketidakberpihakan tersebut.
Transmigrasi Terselubung di Papua
Tranmigrasi Ke Papua/Ilustrasi
Design grafik pertumbuhan penduduk OAP di NKRI oleh pemerhati fenomena sosial Papua
Menjadikan pengusaha warga migran sebagai kontraktor oleh para
petinggi di Papua berimbas pada meningkatnya angka transmigrasi
terselubung ke Papua. Sebab pengusaha migran selalu mendatangkan
pekerja-pekerja dari luar Papua. Para bupati/wali kota dan kepala SKPD
di lingkungan Provinsi Papua pun mendatangkan warga transmigrasi
terselubung. Para pejabat ikut memberikan peluang sambil mematikan daya
juang Orang Asli Papua (OAP) dengan menghadirkan para kontraktor sebagai
akibat dari bergaining politik di masing-masing wilayah, baik di
kabupaten/kota maupun provinsi. Mereka datang dengan berbagai pekerjaan,
tanpa membawa bekal.
Papua dianggap sebagai surga yang terlantar. Hal ini belum dicermati
dengan seksama oleh semua komponen. Sebenarnya yang paling eksis dalam
menghadirkan transmigras terselubung adalah para bupati/wali kota dan
gubernur.
Monopoli Dagang
Foto Mama Papua Jualan di Pasar
Monopoli dagang pun terus terlihat marak. Para pedagang dari luar
tumbuh bagai jamur di seantero persada Papua. OAP kini tak berdaya
bersaing di tanah mereka sendiri.
Pemerintah tidak melihat beberapa aspek di atas ini. Para pejabat
asli Papua lebih percaya warga migran ketimbang warga lokal, yang
sebagai warga asli dan pemilik tanah ini.
Para pengusaha bonafide di Papua sedang memodali para pendatang atau
mereka didatangkan agar berusaha di tanah Papua. Warga trans terselubung
merupakan pekerja berbagai proyek yang diberikan oleh para bupati
sebagai kosekuensi politik di masa pilkada.
Dana yang mestinya dipakai untuk memberdayakan masyarakat lokal
justru berbalik manfaatnya. Memberikan peluang kepada para pengusaha
agar membanting lulu warga asli yang adalah pemilik kabupaten, daerah
kabupaten dan lain-lain. (*)
Penulis adalah wartawan tabloidjubi.com dan Koran Jubi,tinggal di Port Numbay
0 comments:
Post a Comment