Benny Wenda Mengunsi Di Vanimo Dok IST |
Oleh : Edoardo Antonius
BEBERAPA tahun belakangan isu Papua semakin hangat dibicarakan baik dari dalam negri maupun luar negeri. Isu ini makin meluas seiring dengan makin meningkatnya kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap Orang Asli Papua. Agar tidak makin meluas dan menjadi konsumsi masyarakat internasional, pemerintah dituntut menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang telah terjadi.
Setidaknya ada empat penyebab isu HAM terus bergaung. Pertama adalah pembatasan akses jurnalis asing ke Papua, kedua Penutupan dan Pelarangan Operasi LSM asing di Papua, ketiga Politik “labelling and criminalize” dan keempat adalah politik Klaim.
Tujuan pelarangan liputan oleh jurnalis asing di Papua sudah pasti untuk menutup informasi terkait isu Papua di luar negeri. Bahkan media-media nasional pun seakan selektif dalam memuat konten berita tentang Papua. Praktis isu Papua selama bertahun-tahun tidak pernah muncul di jaringan televisi internasional. Sama halnya dengan penutupan dan pelarangan beroperasinya LSM asing di Papua karena disinyalir oleh pemerintah bisa memperkeruh masalah Papua.
Sembari menutupi saluran akses jurnalis asing ke Papua, Pemerintah juga melakukan politik “labelling and criminalize” yang bertujuan untuk membungkam aktivis Papua dalam menyuarakan aspirasi politik mereka. Pelabelan “separatis” dimaksudkan agar mudah mengkriminalisasi ide, sehingga siapapun yang berbicara atas nama ideologi tersebut bisa dicap sebagai “separatis”. Bahkan apapun yang melekat pada siapapun yang merepresentasikan ideologi Papua termasuk benda-benda seperti gambar, noken, pakaian dan lain lain akan di cap sebagai “separatis”. Dengan cara ini, pemerintah memiliki legitimasi atas nama hukum untuk membungkam aspirasi politik orang Papua melalui cara-cara represif ala militeristik.
Setelah target pembungkaman tercapai, Pemerintah dengan mudah dan tanpa beban bisa berdiri di hadapan para pemimpin Melanesian Spearhead Group (MSG) dan mengklaim diri sebagai representasi sah Orang Papua di organisasi bangsa-bangsa Melanesia tersebut. Ini adalah skenario terbaik yang setidaknya diharapkan Pemerintah akan terjadi. Namun, kenyataan berkata lain. Setidaknya ada beberapa hal dilewatkan atau mungkin di abaikan Pemerintah.
Kegagalan demi kegagalan dalam upaya menutup rapih isu Papua dari dunia internasional ini pulalah yang turut mencoreng wajah Indonesia di pertemuan-pertemuan MSG dan dunia internasional. Di hadapan para pemimpin MSG, pemerintah mengklaim diri sebagai representasi resmi orang Papua. Padahal, entah sengaja atau tidak pemerintah tahu bahwa informasi dari Papua ke luar sudah sangat deras dan tidak bisa dibendung. Aksi demo damai yang berlangsung di berbagai kota di Papua, Jawa dan Sulawesi untuk mendukung United Liberation Movement of West Papua (ULMWP) sebagai representasi yang di pilih orang Papua sudah diliput dan disebarluaskan ke dunia internasional. Ketika pemerintah mengklaim diri sebagai perwakilan orang Papua di MSG, sementara orang Papua sendiri lebih memilih ULMWP sebagai perwakilan mereka, disini jelas terlihat bahwa pemerintah telah melakukan pembohongan publik. Pemerintah telah mengkhianati orang Papua dengan cara membajak suara mereka demi kepentingan geo-politik dan ekonomi di MSG.
Melanesian Shapheard Gruop (MSG) Photo |
Terkait penutupan dan pelarangan beroperasinya LSM asing, ini adalah kekeliruan karena hanya menimbulkan kecurigaan dan rasa ingin tahu yang besar terhadap alasan dibalik kebijakan ini. Dengan mencari-cari informasi secara independen, bisa saja informasi yang didapat oleh LSM-LSM tersebut hanya makin memojokkan pemerintah. Mereka juga memiliki jaringan yang tersebar di berbagai negara. Penutupan dan pelarangan beroperasinya LSM asing hanya makin mengkonfirmasi ada yang tidak beres di Papua. Menurut hemat saya, pembukaan kembali LSM asing yang beroperasi di Papua dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah untuk melakukan dialog intensif, reguler dan konstruktif bagi pemerintah sendiri sekaligus bisa mengawasi sendiri laporan-laporan yang mereka buat.
Yang berikut adalah tentang politik labelling and criminalize. Label “Separatis” sebagai senjata pemerintah hanya efektif digunakan di wilayah yurisdiksi Indonesia. Di lain sisi, internasionalisasi isu Papua adalah cara orang Papua untuk memindahkan pertarungan ke luar arena yurisdiksi Indonesia. Mereka memilih wilayah Pasifik Selatan dimana pemerintah pun turut terseret dan terjebak di arena ini. Praktis label “separatis” menjadi tidak bermakna hukum sama sekali. Ia justru bertransformasi menjadi “Freedom Fighter”. Transfer makna Separatis menjadi Freedom Fighter disebabkan oleh perubahan arena pertarungan dimana wilayah Pasifik Selatan sebagai wilayah “yurisdiksi”nya orang Papua. Diluar negeri, Freedom fighter ini membangun image mereka sebagai non-violence fighter. Dengan menghindari penggunaan alat-alat kekerasan dalam perjuangan mereka, mereka pun telah berhasil selamat dari jebakan definisi teroris yang tumpang tindih dengan kata Separatis ataupun Pemberontak. Fakta inilah yang menjelaskan mengapa Indonesia kalah dalam upaya “labelling and criminalize”. Pendekatan Labelling sebaiknya yang lebih halus dan berkonotasi positif yang mampu menyaring yang baik dari yang kurang baik dan bukan sebaliknya. Labelling separatis itu berkonotasi negatif dan hanya menyoroti bahkan menggeneralisasi orang Papua sebagai separatis sehingga orang Papua terkesan buruk dimata masyarakat Indonesia lainnya. Hal ini hanya menambah persoalan, menyebar kebencian, membangun tembok, menicptakan rasa curiga, saling tidak percaya dan bisa menyimpan potensi konflik horizontal.
Labelling yang berkonotasi positif dengan embel-embel pemberian reward bisa jadi opsi untuk menarik kembali hati orang Papua yang sudah terlanjur kecewa dengan pemerintah. Sebagai contoh katakanlah para aktivis Papua adalah “saudara yang belum sepaham dengan kita” ketimbang “kelompok anti-pembangunan” atau “separatis”. Dengan labelling yang lebih halus dan berkonotasi positif, ada sedikit ruang untuk bisa berdialog tentang letak perbedaan pemahaman. Dengan labelling halus dan berkonotasi positif pula pemerintah sedang membangun jembatan dan menanam rasa kepercayaan di hati orang Papua.
Yang terakhir adalah politik klaim yang sama sekali merusak kredibilitas pemerintah didunia internasional. Rakyat Papua telah memilih ULMWP sebagai representasi mereka. Sebaiknya, pemerintah tidak lagi menggunakan kata “rakyat Papua” dengan tujuan untuk merepresentasikan orang Papua ketika berbicara di forum MSG. Pemerintah bisa menggunakan “perwakilan Melanesia Indonesia kecuali orang Papua” di MSG sebab mandat telah diberikan oleh orang Papua kepada ULMWP. Atau bisa juga pemerintah hanya mewakili pemerintah di provinsi-provinsi melanesia di Indonesia termasuk Papua dan Papua Barat. Sebab mewakili rakyat dan mewakili pemerintah adalah dua hal yang berbeda. Yang pertama adalah untuk kepentingan rakyat dan yang kedua adalah untuk kepentingan pemerintah dimana kepentingan keduanya tidak selalu sinkron ataupun sama. Dalam Organisasi internasional seperti MSG, hal ini dimungkinkan dengan melihat preseden FLKNS yang merupakan representasi rakyat Kanaki di New Caledonia. Dengan demikian, MSG bisa menjadi organisasi yang unik yang bisa mempertemukan langsung pemerintah Papua dan rakyat Papua untuk membicarakan masa depan Papua diluar kerangka hukum NKRI. (*)
Penulis adalah mahasiswa tingkat akhir pasca sarjana Hubungan Internasional FISIP UGM)
Sumber : Tabloid JUBI
0 comments:
Post a Comment