Latest News

Free West Papua

Free West Papua
Tuesday, August 9, 2016

Setiap Orang Berhak Atas Rasa Aman dan Tenteram Kecuali Orang Papua


ILUSTRASI MILITER INDO TERHADAP PAPUA

ADEGAN absurd ini terjadi di Miami, 18 Juli lalu. Charles Kinsey, seorang terapis di pusat perawatan mental, berusaha menenangkan seorang pasien yang kabur dari rumah sakit. Si pasien ditemukan sedang bermain mobil-mobilan di pinggir jalan.
Syahdan terdengar pistol menyalak. Polisi menyarangkan peluru ke tubuh Kinsey. Sang terapis pun tumbang. Tapi ia masih bernapas. Kedua tangannya ia lambaikan ke atas.
‘Pak, Pak polisi, kenapa Anda tembak saya?’ teriak Kinsey dari kejauhan.
‘Saya tidak tahu.’
Keesokan harinya kepala polisi setempat menyatakan bahwa si pembidik hendak melindungi Kinsey  (dengan asumsi kacau bahwa penyandang autis itu berbahaya). Konyolnya lagi pernyataan resmi itu tidak menjawab mengapa Kinsey, yang ingin ‘dilindungi, justru diborgol dan dibiarkan tanpa pertolongan selama dua puluh menit.
Pertanyaan lain yang tidak bisa dijawab pak kepala polisi adalah sepotong kalimat si polisi ‘Saya tidak tahu.’
Semenjak Kinsey adalah seorang kulit hitam, sepersekian detik sebelum ‘saya tidak tahu’ itu bisa berarti: ‘Mungkin dia (Kinsey) bukan penjahat, tapi mayoritas kriminal adalah Negro, jadi saya tembaklah dia.’
***
Sudah lama Paman Sam punya masalah dengan kekerasan terhadap warga kulit hitam. ‘Pelakunya laki-laki kulit hitam’ adalah ungkapan yang lazim terdengar dari televisi ketika terjadi perampokan, pemerkosaan, atau pembunuhan. Jika pelakunya kulit putih, jarang sekali tampilan fisiknya dipersoalkan.
Masalah ini sudah mengakar. Perang Sipil pada abad 19, berakhirnya perbudakan, dan penghapusan segregasi belum juga berhasil sepenuhnya melunturkan rasisme. Dalam perkembangan selanjutnya, ketimpangan ekonomi antara warga kulit putih dan kulit berwarna, kemunculan kelompok-kelompok supremasi kulit putih, militerisasi kepolisian dan industri penjara swasta adalah bahan bakar mematikan.
Soal supremasi kulit putih, sepanjang dekade 1960-an, ketika perjuangan hak-hak sipil bergelora di jalan-jalan, kelas menengah Kaukasian kembali familiar dengan perasaan yang pernah menghinggapi buyut mereka: kehilangan privilese akibat dihapusnya perbudakan kulit hitam. Hari ini, ketika gerakan#BlackLivesMatter hadir di mana-mana mengutuk kekerasan polisi, fenomena supremasi kulit putih pun ikut merebak.
Berkulit gelap sama artinya memilih menjadi kambing hitam atau domba altar. Dalam politik elektoral, si Pit Hitam senantiasa harus mengambil posisi yang tidak pernah disorongkan kepada orang kulit putih: menjadi bagian dari masalah atau solusi yang sudah lebih dulu dirumuskan oleh pihak luar.
Pada pemilihan presiden 1968, Nixon menyapu bersih suara warga kulit putih di negara-negara bagian selatan yang gemetar menyaksikan kemajuan gerakan hak-hak sipil dan semakin seringnya kulit hitam muncul di ruang publik. Nixon percaya bahwa orang Afro-Amerika perlu ditertibkan jika tidak mau dianggap sumber kekacauan sosial. Skenario ini rupanya sedang diulang oleh Donald Trump, yang juga percaya bahwa orang kulit hitam—selain Muslim dan warga minoritas lainnya—adalah biang kerok mengapa Amerika tidak hebat lagi. Sementara bagi orang-orang Demokrat, contohnya politisi oportunis abadi Hillary Clinton, suara Afro-Amerika adalah jalan emas menuju Gedung Putih, terlepas dari fakta bahwa tingkat kepercayaan pemuda-pemudi kulit hitam terhadap mantan menteri luar negeri itu cenderung rendah.
Anggapan bahwa orang kulit hitam berpotensi kriminal adalah suatu konstruksi budaya; namun bahwa konstruksi itu tetap langgeng adalah hal lain yang tumbuh subur bersama tingkat pengangguran (dua kali lipatnya pengangguran kulit putih), diskriminasi di tempat kerja, kehilangan hak politik lantaran catatan kriminal kecil, dan rasisme yang bercokol di kepala aparat keamanan.
Pada tahun 1998, ketika jabatan presiden berada di tangan Bill, anggota Klan Keluarga Klinton pertama di Gedung Putih, aktivis dan penulis Angela Davis memperingatkan bahaya swastanisasi penjara dalam sebuah esai berjudul ‘Masked Racism: Reflections on the Prison Industrial Complex’.
Konon Clinton dikenal sebagai presiden yang paling dicintai komunitas kulit hitam. Tapi Davis berkata lain.
Delapan tahun Bill Clinton berkuasa, masalah pengangguran disapu ke bawah karpet, salah satunya dengan pemenjaraan massal. ‘Tunawisma, pengangguran, narkoba, gangguan mental, dan buta huruf adalah sedikit dari problem yang lenyap dari panorama publik, ketika orang-orang yang berjuang mengatasi masalah-masalah ini dikerangkeng.’ Dan tujuh puluh persen narapidana di penjara Amerika, tulis Davis, adalah ras minoritas.
Tapi banyak penjara saat itu, alih-alih merehabilitasi warganegara, telah bersalin diri menjadi pabrik-pabrik swasta yang mempekerjakan tahanan dengan upah serendah mungkin. Davis menyebutkan bahwa korporasi seperti IBM, Compaq,  Motorola, Microsoft, Boeing, hingga Revlon mengeruk laba berkali-kali lipat dari cadangan tenaga kasar di penjara—selain, tentunya, di Dunia Ketiga. Kriminalisasi dan pemenjaraan massal nampaknya bukan semata akibat yang tak dikehendaki dari sebuah struktur masyarakat. Sebaliknya, ia malah menguntungkan dan perlu—toh tak usah ada serikat buruh, tak butuh  tunjangan kesehatan, apalagi pesangon.
Tulisan Davis mengingatkan saya pada kemalangan Negro Amerika sepanjang era rekonstruksi pasca Perang Sipil. Hanya delapan bulan setelah perbudakan dihapus, Undang-Undang Anti-Gelandangan (Vagrancy Act) disahkan di negara-negara bagian selatan. Menurut undang-undang ini, tunawisma dan orang yang menganggur selama lebih dari tiga bulan adalah kriminal. Walhasil, orang-orang kulit hitam yang baru saja mendapat kedudukan orang merdeka dan berkelana mencari pekerjaan segera masuk bui—atau terpaksa kembali bekerja dengan rantai di kaki.
***
Saya tidak mengenal Obby Kogoya, anak Papua yang sekolah di Jogja itu, kecuali hanya dari foto yang tersebar di facebookbeberapa waktu lalu. Dalam foto itu, wajahnya tertelungkup ke tanah. Kepalanya diinjak sepatu berlogo N yang dikenakan aparat.  16 Juli 2016, tepat dua hari sebelum penembakan Kinsey, Obby ditangkap polisi secara brutal di depan asrama mahasiswa Papua yang tengah dikepung oleh aparat dan ormas-ormas fasis.
Kinsey dan Obby jelas berasal dari latar belakang yang berbeda. Yang satu berdarah Afrika, yang lainnya Melanesia. Namun, meski masing-masing memiliki kesejarahan yang khas, dalam beberapa hal situasi penindasan yang menimpa puak Kinsey dan Obby boleh jadi sebanding.
Sebagai orang kulit hitam, Kinsey tentu akrab dengan kabar kematian kawan dan kerabat dekat di tangan polisi, sebagaimana Obby dan rakjat Papua lainnya yang tidak asing dengan berita-berita pembunuhan aktivis di kampung halaman. Kinsey barangkali sedikit lebih beruntung: pembunuhan aktivis adalah memori dari abad lalu, masa ketika Martin Luther King, Malcolm X, dan Huey P. Newton dihabisi tanpa ampun oleh aparat.
Empat abad silam di Afrika, leluhur Kinsey diangkut ke Virginia, dipaksa kelaparan dan dijarah tanahnya. Di Papua secara legal memang tidak ada perbudakan, tak terjadi pula deportasi penduduk asli ke pulau lain. Namun kita semua tahu bagaimana tanah leluhur Obby dirampas, dijadikan tambang atau (kini) sawah, danterpaksa bekerja untuk Kapital global—dalam hal ini, kondisi orang Papua lebih mirip warga Aborigin di Australia atau penduduk indigenous Amerika.
Barangkali seorang paman Kinsey adalah veteran Perang Dunia II, yang sepulangnya tidak disambut sebagai hero alih-alih dikeroyok ormas KKK karena berkulit gelap dan menuntut hak pilih dalam pemilu. Begitu pula Obby. Beberapa teman sekampung yang pernah turun ke jalan mendukung keistimewaan Jogja dan sekarang harus menanggung akibat racauan Sultan tentang separatisme karena menyuarakan hak menentukan nasib sendiri untuk Papua, bukan Jogja.
Pengalaman tertindas sebagai orang kulit gelap adalah pengalaman yang khas. Berkulit hitam di Amerika sama artinya dengan terlihat mencolok dan mudah ditandai. Seorang keturunan Yahudi, Polandia atau Itali, tiga kelompok Kaukasia yang paling sering jadi bahan empuk lelucon rasis, bisa leluasa mendaku sebagai non-Yahudi, non-Polandia, dan non-Itali. Tapi jika Anda kulit Anda hitam dan rambut Anda keriting, mustahil Anda menyaru jadi bule, sekalipun orangtua memberi Anda nama Germanik-Irlandia macam Charles Kinsey.
Sebagai orang Jawa, Anda tidak akan berurusan dengan polisi selebar apapun Anda membentangkan spanduk ‘Referendum untuk Jogja’ atau ‘Khilafah menyelesaikan semua problem mahasiswa dari skripsi hingga perasaan.’  Tak akan ada yang mengumpat ‘Jawa!’ atau ‘dasar Muslim!’ sekalipun Anda merusak fasilitas umum dan memblokir jalan Solo. Toh kalaupun Anda bukan orang Jawa, mayoritas etnis di Indonesia, Anda tetap saja berkulit sawo matang, kulit Melayu kebanyakan.
Beda nasib jika Anda dari Papua. Mustahil menyamar sebagai orang Melayu. Orang akan meneriaki Anda ‘babi’, ‘anjing,’ monyet,’ pemabuk’, ‘perusuh’, ‘kafir’, dan akhirnya, ‘separatis!’ biarpun Anda berdemo dengan tertib.
Pada pemilu mendatang, tak banyak pilihan bagi Kinsey selain mendukung Hillary Clinton, seorang politisi yang minggu lalu mengecam perkawinan sesama jenis dan pagi ini mendukungnya, yang memainkan sentimen rasial ketika bersaing dengan Obama pada pemilu 2008, namun berharap mendulang suara kulit hitam November besok.  Menghadapi Prabowo dalam pemilu presiden 2014, tak banyak pula tersedia pilihan bagi orang Papua kecuali mencoblos Jokowi, yang berjanji memecahkan seabrek masalah di Papua dengan dialog, namun setelah terpilih memberlakukan kembali ‘ABRI masuk desa’ demi proyek-proyek perampasan lahan MIFEE.
Di Miami, bukan sesuatu yang aneh jika sopir taksi enggan mengangkut Kinsey karena termakan stereotip rasial. Di Jogja, para pemilik kos tak mau menerima mahasiswa seperti Obby karena segala macam prasangka tentang ‘Orang Timur.’ Senin kemarin di negeri Kinsey, seorang polisi tidak berpikir dua kali sebelum membedil Pit Hitam lantas mengatakan ‘saya tidak tahu.’ Di Jogja sabtu lalu, ketika seorang polisi menangkap mahasiswa Papua, rupanya ia mengira sedang menjinakkan mahluk—dalam kata-kata Filep Karma— ‘setengah binatang.’
Rousseau, seandainya ia hidup di Amerika setelah Perang Sipil, akan menulis: Negro terlahir merdeka, tapi di mana-mana ia terbelenggu. Jika Rousseau tinggal di Papua hari ini, dia akan berhenti menulis.***

Sumber : www.indoprogress.com
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Post a Comment

Item Reviewed: Setiap Orang Berhak Atas Rasa Aman dan Tenteram Kecuali Orang Papua Rating: 5 Reviewed By: Unknown