Sumber ilustrasi: Papua Itu Kita
JADI sekarang kita semua sudah tahu. Orang Papua hanya bisa hidup sebagai orang Papua di Papua. Apa yang berkali-kali dialami mahasiswa Papua di Jawa (ini termasuk Jakarta), juga dialami Persipura ketika bermain di Malang beberapa tahun lalu.
‘Monyet!’ Panggilan yang sebelumnya hanya dibisikkan atau diteriakkan dalam kegilaan sesaat. Monyet dulunya serumah dengan ‘bodoh’, ‘bau’, ‘malas’, dan kata-kata lain yang muncul di benak orang Indonesia kalau melihat orang-orang Papua. Tapi kata-kata itu sebelumnya biasanya hanya tinggal dalam benak, atau kalau diucapkan akan mengundang tatapan jengah dan canggung dari orang-orang lain. Setelah kejadian di Kamasan kemarin, menggunakan peribahasa dalam bahasa Inggris, ‘the cat’s out of the bag,’ Indonesia tidak bisa berpura-pura tidak rasis.
Dalam rangka merangkul rasisme itu, orang Papua harus menyesuaikan diri. Layaknya rasisme sejati, target dari rasisme-lah yang harus menyesuaikan diri. Jelaslah bahwa hidup di luar Papua untuk orang Papua tidak glamor kayak di film-film. Jawa bukan lahan piknik, saudara.
Sebuah catatan penting supaya saudara tidak kaget; sekarang saudara adalah duta Papua. Saudara juga bertanggungjawab atas SEMUA dosa yang pernah dilakukan orang Papua lain. Kalau ada orang Papua yang pernah mencuri di warung sebelah LIMA TAHUN LALU, itu tanggung jawab saudara juga.
Selain itu, berikut ini beberapa aspek hidup di mana orang Papua perlu berhati-hati ketika di luar Papua.
- Penampilan
- Mencari Kost
- Perilaku
Yang pertama, sujud syukur, ini mujizat yang membuktikan Tuhan masih ada. Sujud syukur juga sangat penting karena ini bukti bahwa saudara orang beragama, dan orang beragama tidak mungkin orang brengsek.
Yang kedua, saudara harus sempurna. Mungkin bisa mulai dengan ambil kursus etiket di hotel-hotel, atau dengan memakai setelan formal ke mana-mana. Selalu mengangguk kalau diminta melakukan sesuatu, bayar uang kost dengan bunga, selalu belajar dan tidak mengikuti atau mengomentari isu-isu yang tidak berhubungan dengan pelajaran, apalagi isu politik.
Yang ketiga, jangan nongkrong dengan orang Papua juga. Karena walaupun orang Papua bodoh, kalau sering bersama-sama nanti pasti punya aspirasi politik. Orang Papua terlalu bodoh untuk tahu dia mau apa. Jadi kalau sedang bicara dengan orang yang anti-Jokowi, saudara juga harus anti-Jokowi, demikian pula kalau sebaliknya. Atau lebih baik lagi, manggut-manggut saja; logat Papua membuat saudara kedengaran semakin bodoh.
- Ingatlah bahwa saudara tidak akan bisa memecahkan masalah ini
Saudara sedang berhadapan dengan stigma, dan apapun yang saudara lakukan stigma ini tidak akan ke mana-mana. Stigma berarti warna kulit dan rambut saudara cukup untuk menarik kesimpulan tentang kejahatan yang mungkin saudara lakukan, alkohol yang mungkin saudara konsumsi, dan kekosongan otak saudara. Ini memang posisi yang canggung karena ini berarti sebagai orang Papua, apapun tindakan saudara adalah tindakan simbolis. Ketika saudara berpakaian, berperilaku, bernafas, saudara entah sedang membuktikan bahwa saudara sehina orang Papua lain, atau bahwa saudara pengecualian. Saudara bisa saja menjadi makhluk mistis itu; orang Papua yang ‘tidak seperti orang Papua yang lain’.
Ini memang tidak adil, tapi yah, namanya juga rasisme.***
*Peringatan: tulisan ini hanya satir atau sindiran belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu BUKAN kebetulan semata.
Sumber : www.indoprogress.com
0 comments:
Post a Comment