Foto Doc RRI/KBRN |
Oleh: Benny Pakage
Ide
menulis artikel ini lahir setelah kami melihat tiga buah foto kekerasan
oleh aparat Polisi/TNI dan kelompok organisasi kemasyarakatan (Ormas)
reaksioner terhadap Mahasiswa Papua di Yogyakarta. Dalam foto tersebut,
terlihat jelas Mahasiswa Papua dipukul hingga hidung berlumuran darah,
dan mata pecah dihantam benda tumpul, serta diinjak dengan sepatu,
hingga hidung dimasuki jari dengan keras sambil menarik rahang bawah.
Saya
juga menonton sebuah video, mahasiswa dihadang polisi saat hendak
melakukan aksi damai pada tanggal 15 Juli 2016; serta kalimat rasis yang
diucapkan Polisi (dalam video) dan ormas reaksioner kepada adik-adik
mahasiswa Papua di Asrama Kamasan I Jl. Kusumanegara Yogyakarta.
Melihat foto dan video serta teriakan meminta tolong melalui sosial media seperti facebook kepada kami di Papua sebagai orang tua mereka yang jaraknya sekian ribu kilometer, tentu kami tidak bisa menolong mereka.
Tindakan
sebagaimana terpotret kamera serta teriakan minta tolong ini seakan
ingatkan saya untuk kembali memutar rol diskriminasi dan rasisme
terselubung yang kami temukan saat hidup bersama mereka yang disebut
orang Java oleh orang Barat. Sebutan “Java” oleh orang Barat ini tak
tahu huruf “v” dapat dari mana, mungkin karena susah eja huruf “w”?
Tulisan
ini, pasti ada yang tersinggung terutama teman-teman orang Java, yang
menurut kami orang Papua, orang Java (maaf saya pakai istilah Barat,
biar sedikit modern dan rasional, hehehe…) adalah semua orang yang ada
di Pulau Java.
Tanpa mengurangi rasa
hormat kami, dalam tulisan ini, berusaha menunjukkan kepada publik
beberapa diskriminasi rasis dari sekian banyak yang kami alami selama
sekitar 7 tahun di Pulau Java. Saya pikir perlu ditulis karena, banyak
anak Papua alumni Java yang pulang ke daerah mereka dengan membawa
sekarung memori diskriminasi rasis seperti saya dan masih juga mereka
simpan dalam pikiran, yang melahirkan embrio-embrio kebencian dan
perlawanan mendukung nasionalisme Papua. Nah, pembaca boleh saja kritisi
tulisan yang kami ulas sesuai pengalaman dan realita hidup kami, dengan
bertanya: apakah tulisan ini benar atau karena emosi?
Pembaca diberi
hak menilai dan kritik, boleh kemukakan melalui facebook atau website.
***
Pertama kali kami injakan kaki di pulau Java (tanahnya orang Java)
pada tahun 1995. Kami pergi ke Pulau Java karena di Papua ada
keterbatasan sarana belajar dan kata Jakarta, Bandung, Surabaya,
Yogyakarta sebagai kota-kota pelajar yang menawarkan sarana pendidikan
memadai, sehingga dengan berbekal ilmu yang akan kami dapat di tanah
Java kami pulang membangun daerah kami sesuai harapan dan cita-cita
negara ini.
Dalam perjalanan ke Java,
sama sekali tidak ada pikiran dalam diri kami, pergi untuk menguasai
tanah mereka, atau mau usaha cari untung di tanah mereka atau kerja di
sana atau kacaukan daerah mereka. Tidak.
Tujuan
ke sana, tentu dengan rasa bangga, hanya untuk ingin menimba ilmu
pengetahuan. Saat itu sedikit kami merasa kami orang Indonesia karena
mulai dari kelas I SD hingga tamat SMA, dengan semangat kami menyanyikan
lagu Indonesia Raya, Halo-halo Bandung, Dari Sabang sampai Merauke,
Naik Kereta Api, di ruang kelas, yang melahirkan imaginasi khayalan kami
buat Indonesia yang luar biasa, dengan upacara bendera Merah Putih pada
setiap hari Senin sebagai pengamalan Pancasila.
Walau
secara samar (saat itu media terbatas dan dikuasai pemerintah dan
militer) sering di tanggal 1 Desember dan setiap 1 Juli kami dengar
lewat siaran RRI tentang perlawanan OPM yang saat itu distigma Indonesia
sebagai Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) untuk mewujudkan negara Papua
Barat Merdeka.
Dalam pergaulan hidup
di Papua, melalui desas-desus tersebar isu bahwa orang Java (Melayu)
adalah orang yang penuh lemah-lembut,baik hati, pemaaf, pemberi, tabah
dan panjang sabar, sehingga sering ada cerita lucu dari orang Papua
(Mob) antara orang Java yang lemah-lembut, penuh ketabahan dan orang
Papua yang berani dan kuat. Orang Java sebagai manusia lemah-lembut ini
lama kami dengar sejak kami masih kecil. Saat itu hasil dari
stigma-stigma positif yang mereka kembangkan itu, membuat hati kami
menjadi rasa bangga bila berteman dengan orang Java atau Melayu lain,
karena stigma ini merata ke semua orang yang berciri rambut lolong atau
rambut panjang, kulit sawo matang (pinjam istilah dari group musik Black
Sweet) dengan melupakan realita kekerasan di Tanah Papua.
Stigma
positif terhadap orang Java yang lemah-lembut dan penuh tabah ini juga
yang membuat banyak orang Papua lupa dengan sekian banyak pembantaian
yang terjadi di tanah ini saat pimpinan militernya orang dari Java
menangkap orang Papua yang berjenggot dan tidak tahu bahasa Indonesia.
Sehingga bila OPM melakukan penyerangan ke tentara/polisi sebagian besar
orang Papua sering memihak militer Indonesia yang menguasai media yang
terbatas dengan berita-berita propaganda. Kami percaya berita itu, tanpa
hiraukan penjelasan orang tua kami mengenai OPM sebagai pejuang Papua
Merdeka dan penjelasan mengenai proses Pepera 1969 yang penuh
intimidasi, teror, pembunuhan dan rekayasa penipuan bila ada berita
mengenai OPM.
Karena saat itu kami
dari Merauke ke pulau Java pakai pesawat Hercules milik TNI AURI yang
biaya tiketnya murah, maka setelah tiba di Malang, kami ke Jakarta naik
bus dengan rasa bangga. Banyak orang Java yang kami temui di jalan dan
kami rasa bangga karena berhasil bertemu dan bisa berdiri di antara
sesama anak bangsa. Belakangan baru kami baru sadar bahwa pikiran kami
sebenarnya sudah dipengaruhi dengan stigma positif tadi, dimana orang
Java sudah disebut sebagai manusia lemah-lembut dan tidak lekas marah
alias panjang sabar. Pokoknya semua yang baik-baiklah.
Pengaruh
stigma positif yang sudah tertanam di dalam diri kami ini membuat
ucapan dan senyum mereka, kami anggap sebagai sebuah sambutan terhadap
kedatangan kami di daerah mereka yang maju dan baik itu. Saat itu stigma
positif yang dikembangkan mereka ini membuat kami sepertinya dibius dan
ada di alam tidak sadar. Sama sekali kami tidak merasa bahwa mereka
berbeda dengan kami, selain kami juga sudah lama menerima mereka sebagai
saudara sendiri dan perlakukan mereka sama dengan kami orang Papua di
tanah kami. Terlebih saat para transmigran dari Java datang menempati
tanah kami sekitar tahun 1902 hingga kini. Kedatangan mereka ini
sepertinya membawa toleransi kebersamaan yang luar biasa, sehingga
banyak orang Papua yang berusaha berteman dengan mereka dengan baik,
menghampiri dengan penuh kasih dan kelemah-lembutan dengan sebutan
populer “Mas” dan “Mba”.
Berdasarkan
kelemah-lembutan dan pengalaman itu, saat tiba di Malang Java Timur,
kami sangat tersenyum sebagai sama-sama pemilik Indonesia. Kami jalan
satu hari satu malam di dalam bus, dan dengan senang hati dan rasa
bangga berada di Ibu Kota negara kami dan tiba dengan baik di terminal
Lebak Bulus Jakarta Selatan. Namun di saat itu mulai kami temui hal-hal
yang baru. Dimana, kami baru melangkah sekitar 5 meter dari Bus, sekitar
3 orang pengemis datang minta sepeser uang koin. Wah saya kaget, karena
setahu kami di Papua, semua orang Java hidup berkecukupan dan melebihi
orang Papua, tetapi sebagai sama-sama pemilik Indonesia dengan bangga
dan sosial yang tinggi kami beri seribu rupiah walau yang pengemis ini
harapkan adalah koin seratus rupiah.
Pemberian
yang berlebihan ini karena budaya orang Papua yang menekankan Cinta
Kasih, kemudian kami diajar dobel lagi di Gereja tentang belas kasihan
dan penuh kasih kepada sesama. Padahal bahasa dari orang yang marah bisa
katakan bahwa pemberian kepada para pengemis ini bisa saja pemberian
upeti tambahan dari sekian banyak orang Java yang telah kami tampung
dengan penuh kasih dan makan berkecukupan dan tenang dan damai, sehingga
mereka tidak mau pulang ke daerah mereka dari negeri kami. Bahkan
sebagian mereka tidak mau disebut orang Java dan menyebut mereka orang
Papua walau rambut lurus, kulit sawo matang.
Saat itu karena kami harus ke Repoa Jakarta Selatan, kami naik angkot (di Papua kami sebut taxi, tidak tahu di Amerika),
namun di sepanjang jalan, kota penuh dengan sampah dan debu, tidak
seperti di tanah kami Papua yang indah dan udara segar. Setiap
persimpangan jalan ada pengemis, dan kami temui juga pemulung, bahkan
biaya hidup tinggi, sehingga kami ke Bandung. Walau awalnya kami pikir
bisa kuliah di Jakarta biar sedikit bisa bertahan hidup dengan bau
masakan dari Istana Negara, karena Indonesia negeri kami. Namun pikiran
menipu kita.
Bandung adalah kotanya
orang Sunda. Orang Sunda tidak mau disebut orang Java, walau kami orang
Papua menyebut mereka semua orang Java karena pulau mereka adalah Pulau
Java.
Dalam perjalan kami ke Bandung
terlihat sama, mereka sepertinya menjemput kedatangan kami dengan senyum
dan ramah. Dalam hati kami bangga karena seakan kami dijemput dan
diterima secara luar biasa. Namun masih ada juga pengemis yang datang
minta uang kion. Sebagai orang Papua yang baru datang dengan tingkat
sosial yang tinggi, ada belas kasihan melihat mereka yang lemah ini,
sehingga saya berikan uang lima ribu rupiah sebagai amal iman saya
terhadap ajaran Kristen yang lama telah mengajarkan saya tentang cinta
kasih.
Sekitar 4 tahun kami kuliah
dan mulai berbaur dalam tradisi hidup mereka. Beberapa anak mahasiswa
terbunuh dikeroyok massa hanya karena beda pendapat dan tingkah laku
serta pengertian. Bahkan kami sudah mulai menemukan apa yang disebut
banyak orang dengan diskriminasi rasis yang sangat terselubung dalam
diri mereka.
Penemuan terhadap
diskriminasi rasis terselubung ini, kami hubungkan dengan
pembunuhan-pembunuhan anak-anak mahasiwa Papua di jalan dan situasi awal
kami saat datang dari kota Malang ke Jakarta dan Bandung. Saat itu baru
terbukti, dimana jemputan dengan senyum di awal kedatangan kita itu
bukan sebagai jemputan kebersamaan dan kelemah-lembutan. Melainkan
mereka sedang menyindir kita dengan gaya dan cara mereka, seakan kami
manusia yang tidak mengerti dan bodoh. Padahal di Papua kami tidak
pernah membuat demikian kepada mereka. Dimana mereka minta tanah, kami
berikan. Tanah kami, mereka yang jual beli, demikian juga mengambil
kayu, ikan di rawa dan laut serta danau, termasuk kerja di birokrasi
pemerintahan.
Tanpa membandingkan itu
kami terus berbaur dengan mereka, dan kami semakin tahu bahwa nada dan
gaya gerak-gerik yang mereka buat di depan kami adalah nada suara
Monyet, dan gaya anjing bahkan gaya binatang lain dan terlihat banyak
yang menutup hidung mereka karena mereka menganggap tubuh kami bau, dan
menganggap kami warga kelas dua yang tidak tahu apa-apa. Padahal bila
kita bandingkan, sebenarnya kwalitas orang Java dan Papua sama-sama
memiliki kelebihan dan kekurangan. Dimana orang Java, keunggulannya
setia dan tabah. Sedangkan kelebihan orang Papua, jujur, penuh kasih dan
pemaaf.
Awalnya di Jakarta kami
mencari rumah kost, dan ada, tapi pemilik kost menaikan harga dari biaya
sebenarnya. Mungkin karena mereka beranggapan bahwa orang Papua itu
banyak uang, padahal tidak juga. Bahkan ada kamar kost yang kosong dan
belum terisi, tetapi mereka katakan tempatnya penuh, padahal di depan
kost itu mereka tempel papan iklan dengan kalimat “Menerima Kost”.
Hahahaee…. lucu ya! Mungkin karena mereka kaget melihat tampang orang
Papua yang hitam, keriting, muka agak kusam. Kondisi ini sama halnya di
kota lain di Pulau Java seperti di Yogyakarta, Semarang dan Surabaya,
setelah kami diskusi tentang diskriminasi rasis yang terjadi kepada
teman-teman kami yang belajar di kota-kota ini.
Hingga kini masih ada dan terjadi. Buktinya kasus kemarin di Yogyakarta.
***
Suatu
waktu di tahun 1995, sekelompok sopir Taxi Blue Bird (bukan taksi
seperti yang di Papua) bersama seribuan warga menyerang Asrama Kamasan
II yang terletak di Jl. Cilaki No. 59 Bandung. Mereka menyerang asrama
tanpa bertanya dan bicara penyebab masalah. Saat itu, kamar depan asrama
terbakar karena dilempar bom molotov.
Sambil menyerang dan membakar, mereka berterik:”Hei Monyet keluar dan pulang ke daerahmu” (ucapan ini sama dengan yang terjadi di Yogyakarta, 14-16/7/2016). Mereka teriak lagi: “Hei Hideng (Hitam dalam bahasa Sunda), keluar pulang ke daerahmu”.
Saat
itu ada yang bicara dalam bahasa Sunda, Java dan Indonesia. Mahasiswa
Papua tak tahu penyebab penyerangan ini. Mereka pukul rata, semua orang
Papua pengacau di daerah mereka. Menekan keras tanpa ampun, tanpa
beritahukan penyebab masalah karena semua orang Papua dianggap warga
kelas dua tidak bermoral dan etika, tidak punya harga diri, harus tunduk
di bawah kaki mereka. Padahal orang Papua merasa dia juga diciptakan
Tuhan sama dengan mereka, walau kulitnya hitam. Tindakan demikian telah
membuat banyak anak Papua mengetahui sifat sesungguhnya dari negara yang
didominasi orang Java ini.
Satu
cerita lagi di Stadion Siliwangi Bandung. Saat Timnas PSSI datang
bertanding dengan Persib Bandung. Di Timnas ada bek sentral, Aples
Tecuari asal Genyem Jayapura yang berambut keriting dan hitam. Pada
pertengahan main, orang meneriakinya: “Hitam–hitam”. Teriakan berulang kali.
Ketika
Aples menghalau bola dan menghadang pemain lawan, suporter meneriakinya
dengan yel-yel: “Monyet, Monyet”. Teriak berulang kali di belakang
beberapa mahasiswa Papua yang datang nonton laga uji coba ini di
stadion. Mendengar itu, seorang mahasiswa terganggu dengan ucapan tadi.
Ia meminta suporter yang meneriaki Aples Tecuari itu diam sambil
mendekati. Tetapi terus mereka teriak, bahkan lempar pisang ke lapangan.
Mereka emosi dan teriak: “Tukang Makan Manusia”. Begitu mereka
teriak ini, mahasiswa Papua merasa didiskriminasi dan Ferry menampar
salah seorang suporter Persib. Dan, terjadi saling serang antara
beberapa mahasiswa dan suporter Persib di tribun timur Stadion
Siliwangi. Tak ada penyelesaian saat itu karena mahasiswa Papua mundur
pulang ketakutan diserang orang Java dari Sunda.
Kasus
lain, terjadi diskriminasi rasial terhadap anak-anak. Awalnya ada
berita di koran Pikiran Rakyat Bandung, bahwa ada serombongan anak
berusia 6-10 tahun sekitar 100 anak dijual di sekitar Kabupaten Garut
dan Ciamis untuk dijadikan Muslim.
Saat
itu sebagai mahasiwa dan warga Papua yang mayoritas Kristen, kami
diskusi untuk menyikapinya. Hasil dari itu, kami bentuk tim dan bila
ada, nanti dilapor ke Pengurus Ikatan Mahasiswa Papua Bandung (waktu itu IMIJA).
Sementara isu ini lagi panas, dua anak kecil kulit hitam, rambut
keriting datang dengan menangis ke Asrama Mahasiswa Kamasan II Bandung.
Langsung anak-anak Papua di asrama menghampiri mereka dan bertanya
kepada kedua anak (Kelas 3 dan 4 SD). “Kamu dua dari mana?”
Kedua
anak ini menceritakan bahwa mereka lari dari Asrama tempat orang tuanya
titip mereka karena mereka disebut Monyet oleh ibu dan bapak pembina
yang merawat mereka. Kemudian ibu ini tidak mau memandikan dan menyuap
mereka dengan alasan mereka dua bau dan dipukul setiap hari, kata kedua
anak ini.
Mahasiswa setelah menerima
informasi itu, pergi di tempat dimana kedua anak ini dititip dan
tinggal. Di depan ibu dan bapak orang Java yang merawat mereka, kedua
anak ini katakan: “Ibu ini yang katakan “Kami dua Monyet”, dan bapak ini yang bilang “Kami dua orang Papua bau dan tukang makan manusia”. Katanya bapak pembina ini katakan: “Makan nasi ini biar jangan makan manusia”,
menurut kedua anak ini sambil menunjuk kedua pembina. Semua mahasiswa
Papua marah saat itu. Suatu penghinaan yang luar biasa. Padahal bila
kita lihat tampang dan gerak gerik para pembina asrama itu, terlihat
mereka lemah-lembut penuh belas kasihan. Bila bicara penuh pengendalian
diri.
Mulai hari itu, semua mahasiswa
Papua semakin yakin bahwa, orang Java ternyata membuat lemah-lembut
diri mereka dengan mereka sedang membawa benih diskriminasi rasis yang
meluap-luap. Mereka berusaha mengendalikan diri mereka dengan menutupi
semua kejelakan dan kejahatan mereka. Banyak orang Barat (kulit putih)
tertipu dengan kelemah-lembutan mereka, sehingga sering mereka menyebut
mereka dengan manusia lemah-lembut. Padahal banyak kekurangannya. Dimana
mereka masih menyebut bangsa lain warga kelas dua, tutup mata terhadap
penindasan negara dengan menguatkan posisi penindasan.
***
Suatu
waktu di pos ronda malam. Kami karena ingin berbaur dengan orang Java,
kami ikut ronda, selain kami warga RT itu. Saat kami sama-sama ronda di
malam hari, warga bertanya kepada saya. Dari Papua (waktu itu masih
Irian Jaya) ke sini pakai apa? Saya bilang pakai pesawat. Mendengar itu,
mereka katakan orang Papua banyak uang ya, sehingga bisa naik pesawat.
Pertanyaan
lain, dari Papua ke sini pakai Pasport ya? Saya bilang tidak, hanya
bayar tiket. Saya bingung saat itu, karena saya pikir selama ini orang
Java tahu bahwa Papua sudah dicaplok Indonesia jadi milik mereka dan
mereka tinggal dekat dengan Ibukota Negara.
Tetapi,
ternyata mereka memang tidak tahu. Terlihat setiap hari mayoritas dari
mereka hanya berbicara bahasa daerah mereka. Beda dengan kita di Papua
yang selalu pakai Bahasa Indonesia. Bahkan mereka buta terhadap Peta
Indonesia. Kami pikir mungkin karena kesibukan hidup mereka mencari
sesuap nasi. Mereka sepertinya tidak tahu dengan keberadaan bangsa
Indonesia karena sibuk untuk sepiring nasi.
Kalau
kami ukur pakai naluri manusia terlihat orang Java lebih bodoh dari
orang Papua. Walau mereka mempunyai sifat pekerja keras dan tabah
sebagai keunggulan mereka.
Bahkan
nasionalisme orang Papua luar biasa terhadap Indonesia karena mahir
berbahasa Indonesia, mengerti Pancasila, UUD 45, GBHN bahkan lagu-lagu
nasional yang merdu dan menyentuh hati bila dinyanyikan. Bagaimana
dengan mereka? Ya, mengerti Politik,Sosial, Hukum, dan sebagainya,
tetapi dalam bentuk teori-teori saja. Praktiknya?
Wajar
saja bila Papua saat ini menjadi barometer segala-galanya bagi
Indonesia. Baik barometer Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Politik dan
Penegakkan Hukum walau masih juga belum sepenuhnnya dilaksanakan oleh
praktisi “Republik Aneh” ini. Wah aneh lagi, “Jangan ngacau kau lae,” kata orangnya Pak Luhut Binsar Pandjaitan, Bapak Menteri Terhormat yang mengusir orang Papua ke Pasifik.
“Enak
saja lae! Harta lae banyak itu, bagilah sama pengemis di pinggir
rumahmu. Jangan main usir dong, negeri ini milik sekian ribu suku, kalau
gitu ndak usah berbangsa aja, biar ndak ada pemaksaan Lae.” Maaf, hanya
humor saja.
***
Sebuah kisah lagi di Yogyakarta. Suatu waktu seorang Papua (mahasiswa) namanya Elly naik angkot (di Papua, Amerika, Inggris sebut Taxi, tidak tahu di China sebut apa? hahahae…)
dengan tujuan pergi ke kampus. Di pertengahan jalan ada beberapa orang
Java juga naik dan duduk dalam angkot di sebelah mahasiswa yang berambut
keriting berwarna kulit hitam ini. Setelah duduk di sebelahnya, sekitar
10 menit, orang Java ini melihat dia berwarna kulit hitam, orang yang
tadinya duduk disamping mahasiswa, pindah ke tempat duduk sebelahnya.
Begitu juga dengan yang lain sampai tiga orang penumpang berbuat
demikian. Bahkan sambil saling memandang antar sesama mereka, mereka
menutup hidung mereka di depan mahasiswa ini hingga mahasiwa Papua tadi
turun di kampusnya.
Dengan kejadian
itu baru mahasiswa Papua ini sadar: ada diskriminasi rasis terhadap
dirinya, oleh orang Java selama ini yang terselubung. Mungkin Elly pakai
parfum Monyet, hahaheee… lucu ya!.
Di
waktu berikutnya, saat kami beberapa anak Papua berdiri cerita di
pinggir kampus, beberapa mahasiswa Java lewat dengan membuat suara
Monyet serta membuat gerakan Monyet meminta makan. Saya sama sekali
tidak menyadari bahwa gerakan dan suara yang mereka buat itu memberi
isyarat kepada teman-temannya bahwa kami yang berdiri dan lagi cerita
ini adalah keturunan Monyet.
Mendengar
itu, ada teman kami orang Fak-Fak yang bernama Ramadan Sabuku beragama
Islam yang sejak kecil tinggal di Bandung, memberitahukan kepada kami
bahwa gerakan yang mereka buat itu sindiran kepada kami bahwa “Kami Monyet”.
Setelah
saya pulang, saya renungkan gerakan Monyet yang dibuat anak-anak Java
dan Sunda tadi. Lalu beberapa minggu kemudian saya ditanya oleh seorang
teman saya dengan pertanyaan: apakah di Papua ada Monyet? Saya bilang
tidak ada. Yang ada hanya burung Cenderawasih, Mambruk, Buaya, burung
Kakatua, dan sebagainya.
Karena
sering terus mendengar mereka menyebut kata Monyet kepada kami orang
Papua, saya berusaha menemukan alasan penyebutan kata Monyet ini.
Pertama, Monyet buat orang Papua hanya mengetahui lewat gambar,
sedangkan satwanya tidak ada di tanah kami. Lalu sebutan ini datang dari
mana, apakah orang Papua turunan Monyet?
Saya
berusaha menemukan jawabannya dengat mengingat kembali materi pelajaran
di SMP YPPK Santo Mikhel Merauke saat itu, dimana ibu guru Sejarah
Agnes (orang Java) mengajar kami tentang temuan Eguine Dubois di Trinil,
Nganjuk Java yang menemukan fosil Manusia Kera Java yang berjalan tegak
(Homo Soloensis, Phithecantropus Paleo Javanicus). Kemudian dalam
pelajaran bahasa Indonesia, guru kami dari Maluku Tenggara, Drs. A.B
Rettob mengajar kami batas penyebaran Ras Melayu dan Ras Melanesia,
perbedaan dan persamaan kedua ras ini yang menurutnya kedua ras ini
sebenarnya tidak bisa bersama karena terlalu banyak perbedaan yang bisa
saja menimbulkan masalah-masalah besar di kemudian hari, menurut
analisanya.
Dengan kedua pelajaran
itu, belakangan saya baru menemukan jawabannya, bahwa sebutan Monyet
buat orang Papua lahir karena Warna Kulit Orang Papua yang hitam dan
badan ada yang sebagian berbulu dan rambutnya keriting; berbeda dengan
Ras Melayu yang rambut panjang/lolong kulit sawo matang. Sehingga mereka
menganggapnya Monyet dengan melupakan sejarah mereka sendiri. Bahkan
diskriminasi rasis ini juga terlihat terjadi karena benturan atas
beberapa perbedaan menurut pelajaran bahasa Indonesia tadi. Sehingga
tidak menemukan harapan ideal dari Ras Melayu, sehingga menganggap ras
Melanesia sebagai turunan Monyet setingkat binatang. Maaf ini kesimpulan
sementara, sehingga coba para peneliti dapat meneliti penyebab
diskriminasi rasis ini, sehingga kita mencari solusi terhadap pengabaian
terhadap nilai manusia yang sederajat ini.
Dengan
penemuan ini, kami berkesimpulan bahwa sebutan Monyet ini lahir dari
tingginya diskriminasi rasis yang terpendam dalam diri orang Java
sendiri dan rasa percaya diri mereka yang menganggap bangsa lain di luar
mereka adalah warga kelas “kete” yang tidak berharga dan harus tunduk
kepada mereka tanpa alternatif lain. Padahal banyak dari mereka yang
kawin campur dengan “kete” ini. Terus anak hasil perkawinan antara
“kete” Papua dan Java disebut apa: apakah Simpanse? Mungkin bagian ini
harus dijawab oleh kelompok reaksioner dan TNI Polisi yang meneriaki
Mahasiswa Papua Monyet.
Mereka selalu
berharap agar semua orang yang hidup di dekat mereka harus berpikiran
sama seperti mereka, sehingga nampaknya ada pemaksaan dalam komunitas
mereka sendiri untuk mencapai harapan atau ideal. Sehingga bisa saja
kita katakan, mayoritas orang Java sama sekali tidak mengerti demokrasi
dan ke-bhinneka-an yang Founding Father mereka letakan buat
negara mereka yang dibangun atas beberapa bangsa ini. Karena mereka
tidak mengerti ke-bhinneka-an yang sejalan dengan Demokrasi dan Hak
Azasi Manusia, maka sedang terjadi pemaksaan, sehingga pada akhirnya
mereka sebenarnya belum siap untuk berbangsa. Bangsa menurut mereka
adalah budaya, kebiasaan dan adat istiadat Java penuh perasaan, dan kaum
yang berbeda warna kulit dan yang lemah harus takluk kepada mereka yang
mengaku kuat, dan jelas nampak ada pemaksaan untuk mencapai harapan
mereka. Ini mungkin lanjutan dari pikiran mereka yang dipengaruhi oleh
pengaruh gen kerajaan yang saling taklukan satu sama lainnya di masa
lalu.
Kemudian mereka selalu
beranggapan untuk memperoleh kekuatan, harus percaya takayul melalui
meditasi dan bertapa di goa dan gunung. Sehingga bangsa ini dibangun di
luar pikiran rasional. Dampaknya, mereka dominan menggunakan perasaan “monggo–monggo”
membagi kekuasaan di republik yang diklaim mempunyai ke-bhinneka-an ini
selama 50 tahun, hanya dengan menjadi pengabdi, bukan menggunakan
ukuran kwalitas diri yang rasional.
Buktinya
sudah menjalani 100 tahun bangsa Indonesia, orang Java mendominasi
Indonesia dekat dengan kekuasan seakan negara ini warisan leluhur mereka
yaitu Phithecantropus Javanicus (maaf saya ungkit kembali sejarah)
karena terlanjur dianggap maju dan dekat dengan sentral kekuasaan.
Mereka dengan kebijakan imaginasi halus menguasai Sumatera, Kalimantan
dan Papua dengan transmigrasi mayoritas orang miskin yang bila subsidi
pemerintah buat mereka berhenti, menjual anak istri di tempat prostitusi
dan tenaga kerja harga murah sambil menjual diri untuk sepiring nasi
sampai ke Timur Tengah.
Mereka
berusaha menguasai Indonesia demi menyebar diskriminasi rasis dengan
mereka menyingkirkan suku-suku pemilik ulayat dengan alasan pembangunan.
Militer dikuasai dan dipakai untuk menguatkan posisi diskriminasi dan
rasis. Begitu juga pemerintah dan hukum dipakai sebagai alat menguasai
dari kaum ini.
Mengaku diri mereka
lemah-lembut, padahal dalam diri mereka menyala api haus darah dan
kekuasaan. Mereka tidak menghargai demokrasi dan keberagaman hidup.
Sayang banyak orang pintar Sumatera dibeli dan dipakai sebagai alat
untuk melindungi kebohongan mereka dan setelah dipakai disingkirkan.
Begitu juga Kalimantan dijadikan tempat sampah Sawit untuk perut mereka.
Sulawesi juga demikian, mereka dijadikan saudagarnya negeri ini untuk
menjaga stabilitas ekonomi negeri penuh korupsi ini.
Mereka
dibeli dengan kata nasionalisme Indonesia yang dalam implementasinya
penuh KKN, sehingga kepintarannya digadai dan menjadi budak para
pengguna budaya lemah lembut, etika dan psikologi serta bahasa dan moral
kamuplase. Demikian juga orang Maluku dan Timor.
Mari
kami menyikapi diskriminasi, kebebasan menyampaikan pendapat melalui
nilai-nilai demokrasi yang universal di negeri ini dengan menjaga
kelompok lemah-lembut “kabualan” yang lagi menindas kebebasan manusia
dengan diskriminasi rasis yang terjadi dengan berkaca pada pengepungan
Asrama Mahasiswa Yogyakarta 14-16 Juli 2016 oleh kelompok Ormas
reaksioner bersama Polri/TNI.
Penulis adalah pemerhati masalah sosial di Papua. Tinggal di bumi Amungsa.
0 comments:
Post a Comment