Latest News

Free West Papua

Free West Papua
Wednesday, August 31, 2016

Refleksi HUT RI ke-71: Papua dalam Lensa NKRI

Oleh Alfonsa Wayap 

Hari Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 identik dengan lomba-lomba, mulai dari tingkat kampung hingga ke kota. Selain itu, di sepanjang jalan menjelang 17 Agustus semua pekerja dikerahkan untuk mengecet ulang tembok-tembok jalan. Umbul-umbul simbol kemeriahan di tengah kebobrokan bangsa yang hanya mementingkan euforia semata.
 
Ilustrasi Papua vs Indonesia - Baliem Doc

Di usianya yang ke-71, sebuah refleksi makna dari sebuah kemerdekaan yang sesungguhnya. Merdeka secara pendidikan, kesehatan, ekonomi, kebebasan berekpresi, kebebasan berpolitik dan lainya. Di usianya yang ke-71 mungkin bagi bangsa Indonesia, usia yang matang untuk mandiri.

Bagi bangsa Papua sejak berintegrasi masuk dalam lensa Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 1963-2016 terhitung 53 tahun, Indonesia belum juga mampu melihat kebutuhan mendasar rakyat Papua. Selalu saja menjadikan Papua ‘kelinci percobaan” dengan dalih Papua masih jauh dari ketertinggalan, Papua harus dibangun dan lainnya.

Berbagai program setting-an yang digelontorkan dengan wacana mengejar ketertinggalan Papua dari aspek infrastruktur jalan dan pembangunan, aspek kesehatan, aspek pendidikan dan aspek ekonomi.
Dari mana Papua harus di bangun? Konsep apa yang digunakan untuk membangun Papua? Di mana letak nilai-nilai dan kearifan loka Papua sebagai bangsa Melanesia? Dan mengapa di tahun yang ke-71 Papua masih jauh dari harapan kesejahteraan yang digaungkan republik ini.

Dalam rekfleski ini, penulis fokus pada isu pendidikan dan kesehatan di Papua. Bertumpu pada realitas pendidikan yang terjadi di hampir seantero di negeri ini (Papua), mulai dari pedalaman, pesisir hingga di tengah Kota Jayapura masih dapat kita temui anak-anak yang belum bisa membaca dan menulis.

Menurut hasil kajian EGRA(Early Grade Reading Assessment/kajian kemampuan baca Kelas Awal) Juni 2014, sumber Majalah Lani, yang dilakukan di 400 sekolah dan 4.800 siswa kelas 2 SD secara acak, di 4 kawasan Indonesia, menunjukkan kondisi wilayah Maluku, Nusa Tenggara dan Papua relatif masih jauh dari harapan dibandingkan dengan kawasan lain, seperti Kalimantan, Sulawesi, Jawa-Bali dan Sumatra.

Kondisi Papua dengan aksesibilitas lebih rendah,memungkinkan untuk tercapainya hasil EGERA jauh di bawah rata-rata kawasan ini. Apapun alasannya, ini salah satu potret dunia pendidikan di Papua. Kenyataan ini berlangsung dari masa ke masa.

Semua aturan yang diulur dari Jakarta memaksakan anak-anak di Papua mengikuti kurikulum versi Jakarta. Papua, diajarkan kelinci percobaan. Miris ketika bangsa di usianya yang ke-71 masih saja melihat Papua dari lensa Indonesia Barat-Jakarta. Papua jauh dari ketertinggalan pendidikan.

Lantas di mana letak kesalahaan Republik ini? Setiap kebijakan pendidikan selayaknya didahului dengan evaluasi dan peninjauan yang matang. Indonesia memiliki konteks dan karateristik yang majemuk. Papua salah satunya.

Sangat disayangkan, Kurikulum 2013 yang berujung pada tidak terpakai. Menteri ganti menteri, juga diikuiti dengan pergantian kurikulum baru. Pendidikan seperti ini, nanti yang dibilang tra (tidak) jelas.
Salah satu faktor rendahnya Indeks Pembangunan Manusia(IMP) Papua adalah masih rendahnya Angka Melek Huruf(AMH). Dari data yang penulis himpun bersumberMajalah Lani (Edisi April, 2015) tercatat data tahun 2007-2012 dari Dinas Pendidikan Provinsi Papua menujukkan pertumbuhan pencapaian komponen AMH sangat lambat sebesar 0,42 % dalam 5 tahun. Belum ada data terbaru.

Kekurangan guru adalah masalah krusial. Angka melek huruf Papua masih rendah. Masalah Papua masih saja bergelut dengan masalah klasik–tingginya angka buta huruf, ketersediaan faslititas, tenaga guru yang belum memadai.

Dampak yang bisa dilihat adalah rendahnya produktivitas tenaga kerja. Perlunya distribusi guru yang merata.Pengalaman penulis ketika berada di Korowai, SD Inpres Mabul, Korowai, Kabupaten Yahukimo, guru dan kepala sekolah tinggal di kota. SD tersebut hanya dijadikan kandang kambing.

Contoh lainnya di SD Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik (YPPK) St. Michael, Kampung Hepuba, Distrik Assolokobal, Kabupaten Jayawijaya, beberapa guru diangkat menjadi kepala distrik. Lantas bagaimana dengan pendidikan? Itu baru sebagian kecil. Masih banyak sekolah yang mengalami kekurangan tenaga guru. Kekurangan fasilitas, misalnya, SD YPPK St.Matius Yiwika (Jayawijaya), SD Perbatasan RI-PNG di Kampung Mosso, Distrik Muaratami, Kota Jayapura lantaran kekurangan guru dibantu tentara. Masih banyak lagi sekolah yang kekurangan guru, fasilitas dan lainnya.
Di Kobakma, Mamberamo Tengah, guru-guru sibuk dengan 17 Agustus. Banyak dana yang dikucurkan sementara proses belajar mengajar terhenti. Hanya karena euforia sesaat.

Padahal kebutuhan mendasar orang Papua– mengenyam pendidikan, jauh dari harapan dan cita-cita bangsa Indonesia. Seutas seragam merah, putih melekat pada anak-anak Papua adalah lambang bendera Indonesia.
Carut-marut pendidikan di daerah pedalaman hingga perkotaan sungguh miris. Pendidikan yang maju dan berkhawalitas dan berdaya saing tidak melulu ditentukan berdasarkan besaran dana yang digelontorkan untuk pendidikan di Papua.

Biaya pendidikan di tengah otonomi khusus (otsus) Papua dengan gaung pendidikan gratis. Di mana gratis? Sebagian besar orangtua murid-siswa mengeluh atas kebijakan sekolah yang mematok biaya pendidikan hingga berbunyi jutaan. Bagaimana dengan mereka yang berpenghasilan rendah? Jangan sampai tahun berikutnya pendidikan di Papua hanya milik kaum elite. Tidak ada tempat bagi rakyat lemah.

Penulis berpikir bahwa tak ada jalan lain untuk keluar dari “keterpurukan pengetahuan”. Hanya dengan bersekolah kita dapat mengubah kehidupan menjadi lebih baik
.
Pendidikan merupakan landasan dasar untuk membangun kesadaran dalam berpikir kritis dan kreatif. Belajar untuk hidup.

Bagi penulis pendidikan merupakan landasan dasar untuk membangun sebuah kesadaran dalam berpikir kritis dan kreatif. Di beberapa daerah di pedalaman Papua banyak anak belum bisa mengecap pendidikan. Itulah perjalanan kemerdekaan Republik Indonesia yang berada dalam bayang-bayang wacana.

Elias Wonda, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayan Provinsi Papua ketika diwawancarai penulis mengatakan,”memang banyak dana digelontorkan ke setiap sekolah, dana BOS, 17 Miliar lebih persekolah.”

Hemat penulis yang mesti ditingkatkan adalah khawalitas guru-guru. Guru menjadi ikon utama untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu.

Aspek kesehatan. Idealnya, jika kita sehat, otak kita sehat bisa berpikir kreatif, kita dapat belajar di sekolah dengan baik. Jangankan pendidikan, kesehatan rakyat Papua saja, jauh dari harapan. Contoh kasus, data dari Badan Pelayanan Jaminan Sosial(BPJS) per 1 Januari 2014 menyebutkan, jumlah rakyat Papua tercatat 3,1 juta jiwa.Tapi jumlah orang asli Papua tidak sampai 3 juta. BPJS yang merupakan kelanjutan dari Jaminan Kesehatan Masyarakat, Akses Sosial, Jamsostek, Asabri.

Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 110 Tahun 2012,seluruh rakyat Papua dan Papua Barat yang berekonomi lemah menjadi peserta Jamkesmas. Namun harapan ini belum sepenuhnya tercapai. Pasien yang tidak memiliki kartu peserta dari program-program di atas malah harus merogoh kocek sendiri.

Pertanyaan dan protes pun timbul. Orang Papua mempertanyakan “janji” negara untuk menjamin kesehatan warganya? Pasien harus bayar sendiri. Kesimpulannya masih banyak rakyat Papua yang belum terdata sebagai peserta program.

Sebuah dilema bagi pemerintah Provinsi Papua. Lantas muncul kesan rakyat Papua diterlantarkan. Padahal dana BPJS di tahun 2014 untuk Papua Rp 620 miliar. Namun baru terpakai Rp 320 miliar. Artinya,14 atau 90 persennya belum dimanfaatkan untuk kepentingan kesehatan rakyat Papua. Akibatnya dana tersebut beralih ke Provinsi lain.

Sesuai kajian pemerintah daerah, sebelum 2019, semua rakyat Papua menjadi peserta BPJS karena belum bisa mandiri secara ekonomi. Jelas tidak mungkin membayar premi sendiri.

Sedangkan dalam peraturan Gubernur Papua nomor 6 tahun 2014 menjamin seluruh rakyat Papua yang terdata oleh BPJS. Undang-undang nomor 21 tahun 2001, pasal 37 ayat 2 menyebutkan rakyat Papua yang tidak mendapatkan jaminan kesehatan nasional menjadi tanggungan pemerintah daerah (via dana otonomi khusus).

Menarik benang merah sebuah gagasan sang pendiri negara bangsa Indonesia 71 tahun yang lalu tentu punya maksud khusus bagi semua warga negara Indonesia.

Tujuan negara RI dalam UUD 1945 sangatlah jelas, menjaga seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam perdamaian dunia. Tujuan negara RI harus tercapai dengan baik sebagai amanat agung UUD 1945.

Sejatinya tujuan Indonesia merdeka adalah agar lepas dari segala bentuk penjajahan Belanda. Apa yang diperjuangkan oleh para pendiri bangsa ini (the founding fathers) tentu ingin mewujudkan sebuah komunitas masyarakat yang sejahtera dan bahagia disusunlah sebuah amanat agung konstitusi yang bernama UUD 1945.

Tetapi kemerdekaan yang seungguhnya adalah merdeka dari pendidikan, merdeka dari kebebasan berekpresi, kemerdekaan secara ekonimi, bebas menyuarakan hak politik, yang sudah dijamin dalam undang-undang.

Jangan hanya menjadikan bangsa Papua sebagai obyek proyek belaka. Jika memang rakyat Papua bagian dari Republik Indonesia, mengapa di tahun ke-71 ini masih saja ada kekerasan, ketidak adilan, pembungkaman hak bersuara dan demonstrasi? Masih saja ada anggapan rasisme dan separatis terhadap orang Papua. Dimana keadilan dan rasa aman yang diberikan untuk rakyat Papua? (*)

Penulis adalah jurnalis dan relawan Gerakan Papua Mengajar
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Post a Comment

Item Reviewed: Refleksi HUT RI ke-71: Papua dalam Lensa NKRI Rating: 5 Reviewed By: Unknown