Untuk Ibu Tercinta
Malam ini aku harus kembali mengingatmu. Kembali mengenang senyum kasih di wajah pemberimu. Engkau bukan yang kini, tetapi engkau yang dahulu tenggelam bersama sang waktu.
Sepuluh tahun itu, terasa kemaring sore. Kupejamkan mata ini untuk sejanak mengenangmu. Meski tak sebanding usiaku. Engkau nampak jelas di hati ini.
Engkau kembali membayangiku lagi. Mengajakku untuk tersenyum dan bahagia bersama sepihnya malam ini. Ibu Aku belum bisa melupakanmu. Rasa yang tersirat ini terus menggerogoti hati ini. Membuat jiwa mudahku tenggelam bersama rasa. Semua itu menyadarkanku. Jikalau aku masih membutuhkanmu.
Semenjak engkau memilih untuk pergi bersama Sang khalik. Hati ini menjelmah menjadi gudang tanya yang tak kunjung terjawab. Bagaimana aku tenang, ketika engkau yang adalah orang yang membuatku menatap dunia ini tak bersamaku lagi. Bagaimana aku bisa beranjak pergi, selama sepuluh tahun perpisahan itu, terasa kemaring? Dan bagaimana aku bahagia mencapai kesuksesan. Selama orang yang menomorduakan nyawanya demi membesarkanku, tak kunjung nampak?
Engkau tak lagi nampak menatap apa yang kutatap. Engkau tak lagi rasa, dengan apa yang kuharap. Engkau tak lagi menasehatiku ketika aku angkuh dan sombong menginjak tiap setuhan berlianmu. Ibu. Kini enggkau nyata dalam angganku, namun nihil dari kata nyata. Ibu, aku lelah menggapaimu.
Dihari ini aku ingin merangkulmu, meski hanya sejenak. Aku ingin meminta maaf atas tingkahku yang sering angkuh ketika engkau mengajariku tentang kehidupan. Ibu, apakah ini bukti bahwa aku lemah tanpamu? Entalah. Itupun tak berjawab.
Ibu. Dihari ulang tahunku ini, entah nengapa rasa ini terus memaksa dan mengharapkan kehadiranmu. Rasa ini terus menuntut dan meraja menunggu kata-kata bijak itu terucap dibibirmu lagi. Aku terus menunggu dengan sedikit harap. Ini hanya mimpi yang akan berakhir esok hari. Kini ulang tahunku menyadarkanku. Aku telah menunggumu sebelas tahun. Aku lelelah. Ibu Jawab aku.
Aku berharap ulang tahun ini akan bersamamu lagi. Seperti sepuluh tahun silam. Engkau menyodorkan sepenggal ucapanmu"selamat ulang tahun nak. Jadilah orang yang berpendidikan dan jangan pernah puas dengan apa yang ko miliki. Perbuatan baik yang ko lakukan itu bukan sesuatu yang ko banggakan, tetapi sebuah keharusan. Ingat eee. Selalu ada dipihak yang benar, bukan pada pihak yang baik"
Jujur. Ibu kata-kata itu masih tersimpan rapi dalam benakku. Setiap aku mengenangmu. Aku selalu merasa engkau mengucapkan kata-kata itu di depanku. Seperti sepuluh tahun silam.
Di ulang tahunku ini. Engkau tak kunjung nampak. Aku tak tahu harus berbuat apa dan bagaimana. Aku hanya terdiam bersama satu tanyaku. Ibu. Rasa ini rapuh, jika aku harus menunggumu hingga habis sisa usiaku?
Malam semakin kelam. Bola mata ini tak kunjung lelah. Mungkin ia mengerti akan gelisaku malam ini. Akal logisku berusaha membujuku untuk meyakinkanku. Engkau di hari ini. Ini semua hanya ilusi dunia yang membuatmu hidup di masa lalu. Ibumu adalah dirimu. Ayahmu adalah dirimu. Engkau adalah orang yang beruntung. Ayah dan ibumu menyatukan alam dirimu. Katanya.
Perasaanku terus berkelan kembali membawaku ke masa lalu. Membuat paras wakil Tuhan itu terus terbayang jelas dalam angganku. Aku terjebak dalam pilihan. Mengingatmu atau harus merelahkanmu berama sang khalik dalam nirwana.
Aku tahu tak ada yang salah dengan kekosonganmu saat ini. Kata ilmu pengetahuan, ini hanya hukum alam. Semua yang hidup akan tiada. Kata agama semua yang hidup akan pergi menghadap Sang Khalik. Keduanya membujuk dan mengajariku tentang kekosonganmu. Keduanya masuk akal. Aku tak tahu mengiakan siapa.
Ibu aku sungguh bingung. Siapa lagi yang harus kujadikan pedoman. Akal dan hati ataukah agam dan sains. Mereka mengajakku dan mengajariku, tetapi belum juga meyakinkanku bahwa engkau akan kembali seperti awal.
***
Kita masih di tempat itu. Perang sengit antara kita belum juga usai. Agama memaksaku dan terus berusaha memenangkan hatiku, bahwa ibumu telah tenang di surga. Sains terus meyakinkanku dengan argumen-argumen logisnya bahwa ibumu telah menepati bagian dari hukum alam.
Kini aku terus tersudutkan. Terus tenggelam dalam harap dan realitas. Ah.. sudahlah. Ini hanya soal waktu. Sepuluh tahun itu, memang telah berlalu merenggut Ibuku bersamanya. Aku tahu, waktu yang tamak itu tak akan membawaku kemasa lalu. Tidak juga mengantarkanku ke wakil Tuhan itu.
Aku terus memaksa hati ini untuk hidup di hari ini. Bukan tadi, kemaring, atau sepuluh tahun lalu. Aku ada di hari ini. Benar. Ini adalah aku. Aku adalah ibuku. Aku adalah ayahku. Ayah dan ibu nenyatuh dalam diriku. Akhirnya, baru kusadari akulah yang sempurna.
Benar. Di hari bersejarah ini, aku hanya terbawa dalam rasa yang terus memaksaku untuk kembali kesepuluh tahun silam. Itulah Imajinasi. Anda boleh saja berada di hari ini, tetapi ia mampu membawamu melayang dan berkelana kemanapun dan dimanapun ia inginkan. Ke masa lalu, masa depan, dan bahkan kenirwana sekalipun.
Aku menyadari, rasa ini mampu menaklukan sepuluh tahun itu. Ia mampu membujuk akal logisku untuk mengangap sepuluh tahun, terasa kemaring. Bahkan, ulang tahunku sepuluh tahun silam bersama wakil tuhan itu, tanpak nyata dalam angganku. Rasa itu mematikan tanpa cipta dan karsa. Rasa itu menghanyutkan tanpa nalar dan akal. Kini ku tau. Aku terus terjajah oleh rasa. Rasa tanpa cipta dan karsa akan membunuh jiwa mudaku. Engkau di hari ini. Bukan di tempat itu, sepuluh tahun silam. Ayolah bangkit Tekom. Kata akal logisku. Berusaha meyakinkanku.
***
Aku ingin hidup di hari ini. Aku ingin melupakanmu. Aku tak ingin mematuhi bujukan agama juga sains. Aku ingin benar -benar ada di hari ini. Bersama jiwa mudaku. Bersama kenyataan dan kelogisanku. Bersama kebersatuan ayah dan ibuku yang adalah diriku.
Aku tak berayah juga tak beribu. Aku adalah ibuku. Aku adalah ayahku. Aku yang paling sempurna. Aku sempurna karena kebersatuan ayah dan ibuku diwaktu silam
Aku dari ayahku juga dari ibu. Ibuku dan ayaku sempurna juga dari kebersatuan ayah dan ibu mereka. Aku ingin melupakan kalian bukan karena kodrat kita sebagai manusia, tetapi karena dunia kita yang berbeda.
Ayah. Ibu. Doakan aku untuk terus melumpuhkan semua rasa yang terus mengubur cipta dan karsaku. Aku ingin maju. Aku ingin terus bergulat dengan waktu, sampai nanti waktu yang tamak itu membawaku ke tempat engkau bersemayam.
Aku tahu tak ada yang salah dengan kekosonganmu saat ini. Kata ilmu pengetahuan, ini hanya hukum alam. Semua yang hidup akan tiada. Kata agama semua yang hidup akan pergi menghadap Sang Khalik. Keduanya membujuk dan mengajariku tentang kekosonganmu. Keduanya masuk akal. Aku tak tahu mengiakan siapa.
Ibu aku sungguh bingung. Siapa lagi yang harus kujadikan pedoman. Akal dan hati ataukah agam dan sains. Mereka mengajakku dan mengajariku, tetapi belum juga meyakinkanku bahwa engkau akan kembali seperti awal.
***
Kita masih di tempat itu. Perang sengit antara kita belum juga usai. Agama memaksaku dan terus berusaha memenangkan hatiku, bahwa ibumu telah tenang di surga. Sains terus meyakinkanku dengan argumen-argumen logisnya bahwa ibumu telah menepati bagian dari hukum alam.
Kini aku terus tersudutkan. Terus tenggelam dalam harap dan realitas. Ah.. sudahlah. Ini hanya soal waktu. Sepuluh tahun itu, memang telah berlalu merenggut Ibuku bersamanya. Aku tahu, waktu yang tamak itu tak akan membawaku kemasa lalu. Tidak juga mengantarkanku ke wakil Tuhan itu.
Aku terus memaksa hati ini untuk hidup di hari ini. Bukan tadi, kemaring, atau sepuluh tahun lalu. Aku ada di hari ini. Benar. Ini adalah aku. Aku adalah ibuku. Aku adalah ayahku. Ayah dan ibu nenyatuh dalam diriku. Akhirnya, baru kusadari akulah yang sempurna.
Benar. Di hari bersejarah ini, aku hanya terbawa dalam rasa yang terus memaksaku untuk kembali kesepuluh tahun silam. Itulah Imajinasi. Anda boleh saja berada di hari ini, tetapi ia mampu membawamu melayang dan berkelana kemanapun dan dimanapun ia inginkan. Ke masa lalu, masa depan, dan bahkan kenirwana sekalipun.
Aku menyadari, rasa ini mampu menaklukan sepuluh tahun itu. Ia mampu membujuk akal logisku untuk mengangap sepuluh tahun, terasa kemaring. Bahkan, ulang tahunku sepuluh tahun silam bersama wakil tuhan itu, tanpak nyata dalam angganku. Rasa itu mematikan tanpa cipta dan karsa. Rasa itu menghanyutkan tanpa nalar dan akal. Kini ku tau. Aku terus terjajah oleh rasa. Rasa tanpa cipta dan karsa akan membunuh jiwa mudaku. Engkau di hari ini. Bukan di tempat itu, sepuluh tahun silam. Ayolah bangkit Tekom. Kata akal logisku. Berusaha meyakinkanku.
***
Aku ingin hidup di hari ini. Aku ingin melupakanmu. Aku tak ingin mematuhi bujukan agama juga sains. Aku ingin benar -benar ada di hari ini. Bersama jiwa mudaku. Bersama kenyataan dan kelogisanku. Bersama kebersatuan ayah dan ibuku yang adalah diriku.
Aku tak berayah juga tak beribu. Aku adalah ibuku. Aku adalah ayahku. Aku yang paling sempurna. Aku sempurna karena kebersatuan ayah dan ibuku diwaktu silam
Aku dari ayahku juga dari ibu. Ibuku dan ayaku sempurna juga dari kebersatuan ayah dan ibu mereka. Aku ingin melupakan kalian bukan karena kodrat kita sebagai manusia, tetapi karena dunia kita yang berbeda.
Ayah. Ibu. Doakan aku untuk terus melumpuhkan semua rasa yang terus mengubur cipta dan karsaku. Aku ingin maju. Aku ingin terus bergulat dengan waktu, sampai nanti waktu yang tamak itu membawaku ke tempat engkau bersemayam.
Editor : Nayak Papua
Sumber : Diamona
0 comments:
Post a Comment