Save Perempuan Papua |
Terlampau
lama aku hidup sebatang kara. Bukan piatu tetapi yatim. Kata ibu, aku
begini adanya. Ia tidak pernah memberitahu siapa ayahku dan mengapa aku
yatim. Mungkin belum saatnya atau memang aku ditakdirkan untuk tidak
mengetahuinya. Entalah. Sejak dahulu jawabannya telah melegenda dalam
hati ibu.
Ah,
perasaan tabu itu kembali menghampiriku. Malam ini, aku ingin bertanya
siapa ayahku. Padahal puluhan kali ibu manangis dan memarahiku ketika
aku bertanya siapa ayahku. Aku terbaring sunyi di kamar berdekor
setengah layak. Rasa ini tak ada yang tahu, selain pelapon kosong yang
tampak pucat dan hembusan nafas yang berdesa keluar mengisi ruang hampa
ini.
Aku
masih terbaring. Sangat mustahil bagiku untuk bertanya yang kesekian
kali pada Ibu. Ahh mungkin akan ada waktu untuk aku menanyakannya. Aku
pun terpaksa harus membiarkan pertanyaan ini melegenda dalam hatiku.
Aku
tidak mengetahui ayahku, bukan karena aku tidak mengetahui masa lalu
Ibuku. Lebih tepatnya aku hanya tidak mengetahui mana yang menjadi
ayahku. Jawaban dari pertanyaan Inilah yang menjadi misteri hingga saat
ini. Ibu dikenal dunia karena keelokannya, meski banyak yang
beranggapan Ia hanyalah janda dari bekas tiga suaminya.
Perempuan
paru baya yang dipilih Sang Khalik untuk menjadi malaikatku dibumi
itu banyak bercerita tentang masa lalunya. Dari tentang kehidupan
rumah tangga dengan ketiga suaminya sampai dengan bagaimana menyikapi
kehidupan. Hanya saja, kalau tentang siapa ayahku masih menjadi hal
tabuh untuk di bicarakan. Enta apa yang menghalangi jawaban itu untuk
keluar dari benak ibu . Aku pun tak mengetahuinya
Aku
masih terbaring seperti semula. Posisi tidur, kaki hingga tanganku
tidak berpindah seinci pun. Hanya tatapan mataku yang berpindah perlahan
menjelajahi langit-langit rumah yang tampak pucat. Aku mulai terbawa
dalam perasaanku sendiri. Kali ini aku teringat apa kata ibu di senja
itu, “semua perempuan Papua adalah Ibumu”. Sepenggal kalimat itu terucap
dari bibirnya, meski saat itu aku belum sepenuhnya mengerti. Aku hanya
mengangguk meyakinkan ibuku bahwa aku mengerti.
Bagaimana
bisa ku pahami, seorang ibu berkata,” semua perempuan Papua adalah
ibumu”. Masa seorang ibu yang melahirkanku dapat berkata seperti itu.
Jadi benar, aku terlahir melalui lebih dari satu rahim perempuan
Papua. Jika benar bagaimana mungkin itu terjadi. Aneh.
Ah, sudahlah tidak ada gunanya memikirkan itu. Semua hanya omong kosong. Pikirku seraya menutup bola mataku dengan perlahan.
***
Hari
ini aku terbangun kesiangan, rumahku sepih. Aku lekas keluar menuju
ruang tamu rumahku yang nampak senyap. Aku duduk termenung di atas sofa
yang bilik kanannya telah menjadi sarang serang. Sepi, karena semua
pergi bekerja. Ibuku berprofesi sebagai model, belakangan Ia menjalin
hubungan dengan Budi. Seorang manipulator kelas dunia. Ia dikenal dan
ditakuti dunia karena banyak membajak hasil karya orang lain. Itulah
sebabnya, mereka menyebutnya manipulator kelas dunia.
Meski
belum sepenuhnya mengetahui mengapa ibuku tertarik pada lelaki itu.
Aku sendiri agak linglung melihat tingkah ibu yang begitu tertarik pada
lelaki pembajak yang tidak pernah menghargai karya orang lain. Selain
itu, aku linglung karena mendengar gosip yang telah lama menjadi buah
bibir para musafir kebebasan. Mereka menganggap ibuku di rebut lelaki
pembajak itu karena kecantikan dan kemewahannya. Bukan melainkan karena
cinta sehidup semati.
Selain
itu ada juga yang bergosip. Ibuku direbut pria pembajak itu dari suami
keduanya yang bernama Belan. Konon kata mereka, pria yang akrab disapa
Bel ini, sangat disegani dunia.
Disegani
karena kebaikan, juga keburukannya. Kebanyakan dari mereka selalu
melihatnya dari sisi burukan pria itu. Padahal jika kita berangkat dari
filosofi hidup orang Tionghoa Hin dan Yan, maka kita pun salah karena
melihatnya hanya dari satu sisi.
Bagiku apapun alasan dan masa lalunya, Ibuku bukanlah wanita pemuas nafsu para lelaki. Ia adalah wanita pemberi kehidupan dan aku tahu jauh di lubuk hatinya. Ia pun rindu akan kebebasan yang mutlak dari tunangannya itu.
Bagiku apapun alasan dan masa lalunya, Ibuku bukanlah wanita pemuas nafsu para lelaki. Ia adalah wanita pemberi kehidupan dan aku tahu jauh di lubuk hatinya. Ia pun rindu akan kebebasan yang mutlak dari tunangannya itu.
Selain
kedua pria di atas, ada juga pria yang sempat singga di hatinya. Kata
ibu, namanya Porto. Pria ketiga ini agak samar dalam ingatan ibu.
Saking lupanya saat bercerita Ia kadang berhenti sejenak untuk
mengingatnya.
Yah.. ibuku memang termasuk orang yang menawan. Ia suka bercerita tentang masa lalunya. Sesekali bola matanya nampak berkaca saat ia bercerita. Sesekali pula, air matanya berlinang terurai dipipinya yang nampak keriput. Masa lalunya begitu suram.
Ketika aku melihat orang yang kucintai itu menagis. Serasa jantungku tidak bertugas. Aku berusaha menyimak tiap alur cerita masa lalu, yang keluar dari bibir wakil Tuhan itu. Semuanya nampak tak berending. Entalah, apa yang membuat masa lalu ibuku begitu suram dan sesak untuk disimak. Hingga kini tak berjawab.
Yah.. ibuku memang termasuk orang yang menawan. Ia suka bercerita tentang masa lalunya. Sesekali bola matanya nampak berkaca saat ia bercerita. Sesekali pula, air matanya berlinang terurai dipipinya yang nampak keriput. Masa lalunya begitu suram.
Ketika aku melihat orang yang kucintai itu menagis. Serasa jantungku tidak bertugas. Aku berusaha menyimak tiap alur cerita masa lalu, yang keluar dari bibir wakil Tuhan itu. Semuanya nampak tak berending. Entalah, apa yang membuat masa lalu ibuku begitu suram dan sesak untuk disimak. Hingga kini tak berjawab.
Ahh
sudahlah ngapain aku memikirkannya. Lagian ibuku telah melewati sekian
waktu dan berada di hari ini. Seraya bangkit berdiri dan mengakiri
anganku yang membawaku melayang. Aku melangkah dengan perlahan
menyentuh sebuah foto wanita hitam manis yang terpampang di bilik kanan
dinding rumahku. Foto itu nampak kusam. Debu yang berbaur di foto itu
membuat kemeja yang dikenakan wanita di foto itu tampak kumal.
***
Belum
lama ini aku mencintai seorang wanita hitam manis yang seasal dengan
ibuku. Bukan hanya dia yang manis tetapi semua wanita dari kampung
halaman ibuku. Aku mencintainya sesuai dengan yang ku bisa. Apa
adanya bukan ada apanya, meski kadang bersebrangan paham.
Dalam
percintaan, meski terkadang air mata menjadi harga yang harus di
bayar. Aku berusaha untuk mengalah. Mengalah bukan berati kalah.
Kadang ada saatnya kita harus mengalah untuk menang jika itu
satu-satunya jalan terbaik. Selain itu, ucapan “semua perempuan Papua
adalah ibumu” dari ibuku, membuat aku harus terperangkap dalam pilihan.
Ibu atau pacar.
Bagiku
ini waktunya untuk menerapkan ucapan itu. Bahkan tanpa kusadari ucapan
itu telah berakar dan meracuni pola pikirku yang akhirnya membuat aku
memandangnya dari dua sisi. Ibu dan pacar.
Sebagai
manusia terkadang kekasiku membuat aku kesal dan marah dengan
tingkahnya, tetapi sepenggal kalimat dari ibuku itu membuat aku
memandang kekasihku sebagai ibuku. . Bagiku seberapa besar aku
menghargai ibuku, itu pula yang akan kulakukan terhadap kekasihku dalam
hidup yang amat singkat ini.
Sebut
saja namanya Rita. Dia hanya satu dari sekian banyak wanita di tempat
asal ibuku. Kata ibu wanita-wanita itu kadang di jadikan pemuas hawa
nafsu oleh para lelaki. Banyak dari mereka diperlakukan setengah
binatang dan banyak pula yang dihamili lalu di tinggal pergi. Anak-anak
mereka tumbuh tanpa tahu ayah mereka. Jangankan mengetahui paras
seorang ayah, mengenal makna dari fonem “ayah” saja tidak. Rasanya
sangat konyol, tapi itu yang ibu menceritakannya padaku.
Aku
sebagai anak yang terlahir tanpa tahu siapa ayahku, kadang turut
merasakan apa yang anak- anak tanpa ayah itu rasakan. Aku membenci para
lelaki itu, aku menghina dan memaki mereka semampuku, namun aku
hanyalah bocah yang belum juga tahu tujuan hidup dari dunia yang serba
singkat ini. Ya, Itulah kenyataannya, mereka akan terus berkuasa atas
para wanita dan selanjutnya melahirkan generasi tanpa ayah.
Aku berseru agar Sang Khalik murka dan musnahkan para lelaki itu, tetapi mereka membalas ucapanku “Tuhan itu hanya ada di dongeng orang primitif”. Aku sadar mereka benar, Tuhan itu dongeng tempat persembunyian dari kesalahan orang primitif yang tak mengenal-Nya sepenuh hati.
Aku berseru agar Sang Khalik murka dan musnahkan para lelaki itu, tetapi mereka membalas ucapanku “Tuhan itu hanya ada di dongeng orang primitif”. Aku sadar mereka benar, Tuhan itu dongeng tempat persembunyian dari kesalahan orang primitif yang tak mengenal-Nya sepenuh hati.
“Leo, Ko melamun apa di situ?” Mengagetkanku.
“Ey…Obet, Ko dari mana?”. Tanyaku seraya berjalan menghampirinya .
“Sa dari kampus!”. Membalas ucapanku.
“Ohh.......
Ko sudah baca berita ka, tidak?”. Bertanya lagi.
Ko sudah baca berita ka, tidak?”. Bertanya lagi.
“Belum kawan, berita apa ka?” Penasaran.
Kawan,
majalah ini di halaman pertama memuat tentang kekerasan terhadap
perempuan Papua. Beritanya menarik untuk di baca. Seraya menyodorkan
sebuah majalah.
“Oh, iyoo kha?, Oke sa baca dulu eee!”
Kedatangan
Obet membuat semua amarahku terhadap para lelaki itu sirna sekedip
mata. Kini sekang aku dihadapkan pada sebuah majalah yang dibawanya.
Entah apa isinya aku mulai membuka majalah itu dan membacanya dengan
saksama.
Suara Untuk Perempuan Papua
Baru
membaca beberapa paragraf dari majalah tersebut, membuat aku mengerti
tentang cerita ibuku. Ternyata benar kata ibuku, para perempuan di
tempat asalnya sulit untuk bersaing dengan laki-laki. Ibarat tuan dan
hamba.
Huh,
berita keparat, baru saja aku merenung tentang hal itu, mengapa topik
serupa itu datang membangkitkan amarah yang telah hengkang dari benakku.
Kampret ni majalah! Tau isi hatiku. Teriakku, seraya melempar majalah
itu ke tong sampah.
Obet hanya terdiam dalam sepi. Menatap aku yang bertingka konyol. Ia berjalan menghampiriku dengan wajah sedikit bermuram.
“Sob, siapkan pesanmu untuk para lelaki itu. Dua hari lagi, aku akan berkunjung kesana”. Mencoba menenangkanku.
“ Huh” . Kali ini aku yang terdiam.
Hanya
sepenggal kalimat itu yang terucap dibibirnya. Ia berpaling dan terus
berjalan keluar pintu rumahku. Menjauh dan menghilang dari pandanganku.
Aku
berjalan dan kembali ketempat semula. Ku tatap dengan saksama isi
ruang tamu rumahku, tak banyak yang berubah. Hanya saja kudapati sebuah
kunci yang mengkilap dengan sebua gantungan pita ungu bertuliskan,aku bukan pelacur. Aku
tahu kunci itu adalah kunci lemari tempat menyimpan dokumen rahasia
dari ibuku. Jarang Ia lupa. Ketika tidur pun kunci itu
selalu terkalung di tangan kanannya. Entah apa yang membuatnya pagi
ini, Ia meninggalkan kunci itu di atas meja.
Aku
menghampiri kunci itu dan menyodorkan tangan kananku
seraya sesekali menatap pintu rumahku. Yah.. aku hanya takut tingkaku
di pergoki ibu. Ku ambil kunci itu dengan lekas kubuka lemari penuh
misteri itu. Dalam remari itu aku melihat berbagai map berjejer di tiap
raknya. Pada kolom kedua dari rak paling atas kudapat sebuah buku
kecil bersampulkan Pulau emas. Sampul buku itu telah kusam, bertanda
hampir tak pernah disentuh orang. Ku buka lagi buku itu dengan lekas,
di halaman pertama bertuliskan” Aku dihamili Budi pada tahun 1969 tepat
pada usiaku yang ke sembilan tahun. Saat ini aku berusaha
kembali menjalin hubungan ini hanya karena aku tak ingin disebut hamil
diluar nikah. Aku tak mau anakku Leo di pandang anak haram. Anakku!
Ini salah ibu. Maafkan Ibu.
Catatan
itu membuat aku terdiam tanpa kata. Sekarang telah ku ketahui semua
misteri itu. Tak banyak bisa ku lakukan selain terdiam dalam
kesenyapan menerima kenyataan itu.
***
***
Dua
hari telah berlalu. Catatan kecil itu membuat aku terus mengurung diri
di kamarku. Aku tahu Obet akan datang hari ini untuk meminta pesanku
kepada para lelaki itu.
Aku merangkak perlahan sembari menyodorkan tanganku pada secarik kertas yang terletak di atas meja belajarku. Ku ambil pena dan merangkai kata di atas kerta itu.
Aku merangkak perlahan sembari menyodorkan tanganku pada secarik kertas yang terletak di atas meja belajarku. Ku ambil pena dan merangkai kata di atas kerta itu.
“Aku
hanya ingin berpesan pada kalian. Sepenggal kata yang sering di
utarakan ibuku. "Perempuan Papua bukan hanya pacar, istri, atau pemuas
hawa nafsumu, tetapi Ibumu sendiri". Apakah berani anda bersaksi ibuku
adalah pemuas hawa nafsuku. Jika tidak sayangi dia dan pandanglah dia
sebagai Ibumu. Apapun yang engkau lakukan terhadapnya, mencerminkan
bagaimana engkau menghargai ibu yang membuatmu ada di dunia ini.
Tak banyak yang kutuliskan di surat itu. Ku lipat surat itu dan kembali kuletakkan di atas meja.
Beberapa menit berlalu pintu kamarku di ketok.
“Leo..Leo! Ko buka pintu ka?”Memintaku.
Dengan lekas ku buka pintu itu.
Tampak Obet di depan pintu itu dengan style orang yang hendak bepergian jauh.
Obet..! aku menyapa.
Tanpa basa basi Obet berkata” Mana surat itu? “. Memotong ucapanku.
Aku harus terburu-buru. Lanjutnya lagi.
Ku serahkan surat yang terletak di atas meja belajarku itu.
Tanpa basa-basi, Obet mengambil surat itu dan berkata
Aku harus lekas pergi. Takut ketinggalan kapal. Seraya menutup pintu kamarku.
Aku tak membalas apapun dan kembali terbaring.
(Momino)
0 comments:
Post a Comment