Pendahuluan
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengamanatkan suatu
bentuk pemerintahan daerah yang mengatur dan mengurus dirisendiri untuk urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Hal ini
diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta
peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi,
pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dalam hubungan antara pusat dan daerah atau daerah provinsi dengan
kabupaten/kota dimungkinkan adanya pola hubungan yang bersifat khusus
seperti propinsi Aceh, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Papua.
Motivasi dan urgensi pemberian otonomi daerah adalah: pertama, upaya peningkatan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan; kedua, upaya melancarkan pelaksanaan pembangunan; ketiga, meningkatkan peran serta masyarakat dalam proses demokrasi pemerintahan dilapisan bawah. Dua kualitas ini menuntun beberapa tuntutanlainnya bagi pemerintah yakni tata kelola kepemerintahan yang sehat (good governance) dan praktek birokrasi yang unggul (excellent practices) dalam pelayanan publik. Rondinelli (2007) mengemukakan, tuntutan peningkatan kompetensi aparat dan kapasitas institusional lembaga pemerintah bersumber dari dua hal, yaitu prasyarat-prasyaratglobalisasi dan ketidakpuasaan terhadap kinerja pemerintah selama ini dalam menjalankan tugas menyejahterakan penduduk dan menyediakan pelayanan publik yang bermutu.
Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (OTSUS) Papua
mengamanatkan pembangunan dalam bidang Pendidikan, Kesehatan, Ekonomi
dan Infrasktruktur. Maka program pokok dalam pelaksanaan Otonomi Khusus
di Papua adalah pemerintah Provinsi harus mengambil kebijakan: Pertama,
kebijakan dan aksi keberpihakan (affirmative policy and action) terhadap orang asli Papua. Kedua, kebijakan dan aksi perlindungan (protetive policy and action) terhadap orang asli Papua. Ketiga, kebijkan dan aksi pemberdayaan (empowermental policy and action) terhadap orang asli Papua.
Vincentsius Lokobal mencoba mengarahkan pikiran dengan mengatakan bahwainti dari ketiga bidang kebijakan tersebut adalah penetapan Perdasus dan Perdasi lebih mengarah kepada hal substansial
untuk keberpihakan, perlindungan dan pemberdayaan terhadap orang asli
Papua. Tetapi memang diakui umumnya bahwa para pejabat pemerintah
provinsi kurang siap untuk menjalankan suatu tugas berat seperti
penerapan Otsus secara kreatif. Selama puluhan tahun mereka tidak
dirangsang untuk menyusun suatu program lokal secara kreatif. Pada titik tertentu daya kreatifitas akan mulai hilangseiring peluang menuju pencapaian tujuan bersama. Daya kreatifitas juga terhalang karena ‘ketergantungan dari pusat’, misalnya dalam hal penetapan MRP sebagai salah satu sarana penerapan isi Otsus.
2. Prasyarat Keberhasilan Implementasi Kebijakan
Howlett
dan Ramesh (1995) mencatat bahwa implementasi kebijakan sangat
dipengaruhi hakekat dan perumusan masalah kebijakan itu, keragaman
masalah yang ditangani oleh pemerintah, ukuran kelompok-kelompok dan
tingkat perubahan perilaku yang diharapkan. Menurut Bridgman dan Davis.
(2004), banyak literatur yang menunjukkan prasyarat bagi keberhasilan
implementasi kebijakan, antara lain:
1. Didasari oleh teori dan kaidah-kaidah ilmiah
mengenai bagaimana program atau peraturan beroperasi. Sebuah kebijakan
yang tidak didasari oleh postulat atau hipotesis yang baik mengenai
sebab dan akibat, maka kemungkinan kebijakan tersebut sulit
diimplementasikan.
2. Memiliki
langkah-langkah yang tidak terlalu banyak dan kompleks. Semakin banyak
dan kompleks langkah-langkah sebuah kebijakan, semakin besar kesulitan
yang dihadapi kebijakan itu akibat banyaknya kesalahpahaman dan
pertentangan yang timbul.
3. Memiliki
prosedur akuntabilitas yang jelas. Satu orang atau badan yang kompeten
harus diserahi tanggungjawab yang jelas untuk mengontrol dan menjamin
keberhasilan implementasi sebuah
kebijakan. Kebijakan biasanya gagal diimplementasikan jika
tanggungjawab pelaksanaan kebijakan tersebut dipikul oleh terlalu banyak
pemain atau lembaga pelaksana. Semakin banyak pihak yang terlibat,
semakin besar kemungkinan munculnya masalah koordinasi bahkan kompetisi
diantara mereka.
4. Pihak
yang bertanggungjawab memberikan pelayanan harus terlibat dalam
perumusan desain kebijakan. Para birokrat ditingkat pelaksana sebaiknya
memiliki informasi yang lengkap mengenai hakekat, model serta landasan
filosofis mengenai kebijakan yang mendasari diberikannya sebuah program.
5. Melibatkan monitoring dan
evaluasi yang teratur. Pengawasan dan evaluasi sangat diperlukan agar
implementasi kebijakan berjalan efektif. Banyak studi menunjukkan,
sebuah kebijakan yang pada awalnya sangat bagus dan mendapat dukungan
publik akan mengalami kegagalan manakala tidak adanya pengawasan yang memadai dari pihak yang independen.
6. Para
pembuat kebijakan harus memberi perhatian yang sungguh-sungguh terhadap
implementasi, seperti halnya terhadap perumusan kebijakan. Pembuat
kebijakan jangan merasa tugasnya telah selesai manakala sebuah kebijakan
telah berhasil dirumuskan. Melainkan, harus bekerja terus hingga
kebijakan tersebut telah mampu diterapkan melalui serangkaian program
yang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Berdasarkan prasyarat tersebut, pemerintah pusat juga
perlu memperhatikan bahwa apakah perumusan kebijakan Otsus sesuai
dengan mekanisme ataukah hanya untuk kebijakan politik? Pertanyaan
tersebut muncul karena kebijakan tersebut tidak membawah perubahan yang
signifikan dalam kehidupan masyarakat Papua.
3. Potret Otonomi Daerah di Papua
Pelayanan
publik merupakan salah cabang pembahasan yang cukup aktual dalam kajian
birokrasi. Kinerja pelayanan publik merupakan salah satu cermin kinerja
birokrasi secara umum. Pelayanan publik menjadi ujung tombak interaksi
antara masyarakat dan pemerintah. Kinerja birokrasi dapat dinilai, salah
satunya dengan melihat sejauh mana kualitas pelayanan publik. Pelayanan
publik (public sevice) adalah suatu pelayanan atau pemberian
terhadap masyarakat yang berupa penggunaan fasilitas-fasilitas umum baik
jasa maupun non jasa, yang dilakukan oleh pemerintah. Dan dalam pelayanan publik, potret nyata pelaksanaan otonomi khusus dapat terlihat.
Bukan rahasia lagi bahwa dari awal mula Otsus diterima oleh masyarakat Papua dengan penuh keraguan; yang diragukan adalah niat baik pemerintah pusat: apakah Otonomi Khusus ini betul akan diterapkan sesuai dengan jiwa dan isi UU No.21/2001 atau
kita –orang Papua- akan ditipu sekali lagi? Itulah pertanyaan polos
saja yang dilontorkan sebagian orang. Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang
kemudian memicu maraknya pemekaran wilayah jelas bertujuan untuk
meningkatkan efektivitas pelayanan publik oleh aparat pemerintah. Di
tanah Papua, pemekaran wilayah yang bergerak sedemikian cepat, terbukti
belum sepenuhnya menjangkau tujuannya. Banyak daerah pemekaran
(kabupaten) baru tanpa infrastruktur dan fasilitas yang memadai bahkan
tanpa aparat pemerintah. Banyak pejabat daerah pemekaran yang lebih
senang melaksanakan pekerjaan dari kabupaten induk ataupun provinsi.
Kegagalan implementasi pembangunan terutama di bidang pendidikan,
kesehatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Diantaranya adalah rumah
sakit yang minim obat dan dokter serta sekolah-sekolah pun masih minim
tenaga pengajar lebih lanjut pelayanan publik di bidang kesehatan dan pendidikan sangat mengkhawatirkan.
Indikasi
atas rendahnya akses masyarakat Papua dalam pelayanan publik
ditunjukkan pula oleh temuan survey IFES. Misalnya di bidang kesehatan,
hasil survei menunjukkan bahwa banyak daerah di Papua, terutama area
pedesaan menderita akibat fasilitas kesehatan yang kurang. Hal ini dapat
ditunjukkan dengan respon atas pertanyaan kebutuhan bidang kesehatan
yang paling penting. Kebutuhan yang paling dominan adalah pasokan medis
yang lebih memadai (33%) diikuti dengan biaya pengobatan yang lebih
murah (22%) serta lebih banyak rumah sakit/puskesmas (18%), bagi daerah
kota. Sedangkan daerah desa, masing‐masing:
lebih banyak dokter/perawat (35%)3, lebih banyak rumah sakit/puskesmas
(18%) dan biaya pengobatan yang lebih murah (16%). Sementara bidang
pendidikan, kuantitas dan kualitas guru serta fasilitas pendidikan yang
tidak memadai masih menjadi alasan utama kualitas pendidikan yang buruk. Untuk penjelasan lebih lanjut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Sektor Pendidikan
Salah
satu tugas pokok pemerintah adalah menyediakan atau memberikan
pelayanan pendidikan kepada masyarakat guna meningkatkan sumber daya
manusia. Pendidikan menjanjikan masa depan untuk mengubah nasib
kehidupan anak bangsa agar tercipta kemandirian sosial. Karena pendidikan memanusiakan manusia yang seutuhnya.
Negara
memiliki tiga kewajiban penting dalam bidang pendidikan. Pertama,
sebagai penyedia utama lembaga-lembaga pendidikan, seperti sekolah,
akademi maupun universitas. Kedua, sebagai regulator atau pengatur
penyelenggaraan pendidikan, baik pendidikan negeri, swasta maupun
lembaga-lembaga non-formal. Ketiga, fasilitator dalam penyediaan
infrastruktur pendidikan, termasuk didalamnya penyedia skema-skema
beasiswa dan tunjangan-tunjangan pendidikan bagi siswa/siswi yang
berprestasi atau tidak mampu.
Pemerintah Provinsi Papua telah membangun gedung-gedung sekolah namun fasilitas maupun tenaga penagajar (guru) sangat minim terutama di pedalaman.
Para tenaga pengajar yang ditugaskan masih memilih tinggal di kota
karena tidak ada pembagunan jalan penghubung antar kampung bahkan kabupaten dan juga minimnya fasilitas bagi tenaga pengajar
tersebut. Para tenaga pengajar juga banyak yang beralih ke politik
dengan adanya banyak wilayah pemekaran yang tidak mengenal batas.
Rendahnya motivasi dan komitmen petugas ini berkaitan erat dengan
rendahnya pendapatan mereka. Hal ini bukan hanya terjadi pada tanaga pengajar, tetapi juga petugas kesehatan di desa (tidak insentif), sehingga proses belajar mengajar tidak berjalan, biaya pendidikan pun tinggi disegala
jenjang. Indikator pendidikan di Papua masih di bawah rata-rata
nasional (APM SD nasional 95%, Papua 90%; APM SMP nasional 67%, Papua
53%; buta huruf nasional 8%, Papua 26%), baru 4% guru SD Papua memiliki
minimum kualifikasi S1 jika dibanding 18% di tingkat nasional.
Distribusi guru yang tidak merata antara daerah perkotaan dan pinggiran
(khususnya di daerah terpencil dan terisolir), 38% ruang kelas SD di
Papua dalam kondisi tidak layak, bahan ajar dan bahan belajar belum
sesuai dengan konteks Papua (Dinas Pendidikan Provinsi Papua, Pendidikan
yang tepat di Provinsi Papua, September 2009).
Dari
pengalaman ini sangat jelas menjelaskan kenyataan bahwa pemberian otsus
belum waktunya kepada sebagian besar daerah di Papua. Mengapa demikian?
Hal ini sangat jelas ketika dari berbagai hal terkait bangunan dasar
pembangunan belum sepenuhnya dibangun. Ambil contoh saja infrastruktur
fisik bangunan maupun jalan. Bagi daerah-daerah di pedalaman Papua,
kondisi ini jauh dari kata ideal ketika rayuan Otsus sangat menarik. Tak
pelak, ketika kebijakan Otsus diterima dan diterapkan, warga masyarakat
harus berkejaran bersama waktu pemenuhan. Apa saja implikasi yang
terjadi? Dari pemaparan data tadi, sangat jelas memberi penekanan
terhadap dampak kebijakan Otsus yang prematur.
b) Sektor Kesehatan
Pelayanan
kesehatan dapat dipandang sebagai aspek penting dalam kebijakan sosial.
Kesehatan merupakan faktor penentu bagi kesejahteraan sosial. Orang
yang sejahtera bukan saja orang yang memiliki pendapatan atau rumah
memadai. Melainkan pula orang yang sehat, baik jasmani maupun rohani. Di
Inggris, Australia dan Selandia Baru pelayanan kesehatan publik
diorganisir oleh lembaga yang disebut National Health Service. Lembaga ini menyediakan pelayanan perawatan kesehatan dasar gratis hampir bagi seluruh warga negara.
Dalam pengalaman pelaksanaan Otsus dibidang kesehatan, rakyat
Papua tetap mengeluh terhadap biaya kesehatan yang tidak mampu mereka
jangkau. Di bidang kesehatan, Gubernur Propinsi Papua mengeluarkan
Keputusan No. 6/2009 tentang Pengobatan Gratis bagi Rakyat Asli Papua
melalui subsidi dana Otsus. Tetapi kebijakan tersebut tidak
diimplementasikan dengan baik. Walaupun penerapan Otonomi Khusus Bagi
Papua telah berjalan selama 12 Tahun,
persoalan kesehatan di Papua masih menjadi persoalan yang serius.
Berdasarkan hasil survei kematian Ibu ditemukan sebanyak 64.471 bayi
yang seharusnya hidup di Papua. Namun demikian, hanya 51.460 bayi yang
hidup dan 7.150 bayi yang meninggal. Angka kematian bayi 122/1000
kelahiran hidup. Sebanyak 47.709 balita yang hidup dan terdapat 3.751
balita yang meninggal. Angka kematian Balita yakni 64/1000 kelahiran
hidup (Hasil survey Foker LSM Papua tentang keadaan kesehatan di Papua).
Pada kasus lain, kasus
HIV dan AIDS terus meningkat. Jumlah pengidap HIV dan AIDS di Tanah
Papua adalah 5.555 orang. Laporan Dinas Kesehatan Provinsi Papua dan
Papua Barat yang dipublikasikan oleh KPA Provinsi Papua, 31 Maret 2008
menyebutkan bahwa: 1). Provinsi Papua memiliki jumlah pengidap HIV dan
AIDS adalah 3.955 orang yang terklarifikasi sebagai berikut dimana HIV:
2.181 Orang, sedangkan AIDS 1.773 Orang. Sedangkan untuk Papua Barat
memiliki jumlah 1600 HIV dan AIDS. Dari kasus HIV/AIDS 70 % adalah Orang
Asli Papua.
Berangkat
dari data sebelumnya, bidang kesehatan menjadi keprihatinan bagi rakyat
Papua. Seperti telah dijelaskan bahwa bidang kesehatan merupakan salah
satu penopang utama dalam menjalani kehidupan. Hal ini setidaknya
menjadi semangat utama dari pemberian kebijakan Otsus dibidang
kesehatan. Dalam implementasi lebih lanjut yang didukung pula oleh data,
dapat dikatakan bahwa pemberian kebijakan Otsus dengan semangat
kesehatan sosial masih jauh dari harapan. Meningkatnya kematian ibu dan
anak belum lagi jumlah penderita HIV dan AIDS memberi pertanyaan baru,
bagaimana implementasi kebijakan Otsus selama ini? Dalam alur berpikir,
kebijakan Otsus menjadi gerbang pembuka bagi terciptanya
kebijakan-kebijakan pro kesehatan bagi rakyat kecil. Masyarakat tidak
lagi kesulitan dalam mengakses tempat berobat karena dana telah
dikucurkan untuk membangun tempat berobat tersebut. Belum lagi soal
pengadaann obat maupun alat-alat kesehatan lainnya. Jika bicara soal
tunjangan atau pun fasilitas yang diperoleh oleh petugas kesehatan, dana
Otsus pun telah mengampuh semua kebutuhan yang diperlukan. Inilah
harapan awal kehadiran kebijakan Otsus tersebut. Hanya sayang, apa yang
diharapkan jauh dari kenyataan yang terjadi dilapangan. Hal ini pun yang
kemudian mengiring alur berpikir pada kesimpulan bahwa pengadaan
kebijakan Otsus dalam hal ini berbentuk kemudahan dana, tak berjalan
sesuai sebagaimana mestinya.
4. Solusi
Berangkat dari persoalan pelayanan publik dan pra syarat keberhasilan implementasi kebijakan (bagian dari potret otonomi daerah) yang
dikemukakan oleh Bridgman dan Davis 2004, maka kami menawarkan beberapa
solusi guna mengakhiri berbagi persoalan di tanah Papua sebagai berikut:
- Pertama, dilakukan evaluasi secara konprehensif atas pelaksanaan Otsus selama 12Tahun ( 2001–2013 ).
Evaluasi ini dilakukan oleh kedua belah pihak yakni Pemerintah Pusat
dan Orang Papua yang menyatakan Otsus gagal. Dalam evaluasi pemerintah
maupun orang Papua mengidentifikasi penyebab yang menghambat pelaksanaan
Otonomi Khusus Papua selama 12 tahun ini. Dari identifikasi ini dapat dijadikan pedoman dalam menentukan kebijakan.
- Kedua, pemerintah pusat menghentikan segala pelaksanaan kebijakan yang kontroversial termasuk pemekaran wilayah provinsi. Sampai hal ini dapat diatur melalui prosedur yang sudah ditentukan dalam UU 21/2001 karena pergerakan primordial yang mementingkan daerah lokal menuntut wilayah administrasi baru atas dasar berbagai argumen pembangunan sangat tidak jelas. Pemekaran kadang melahirkan fanatisme daerah (kesukuan) sehingga cenderung menyandera prinsip‐prinsip maupun mekanisme perekrutan dan penempatan posisi dalam jabatan‐jabatan pemerintahan. Pemerintah pusat juga perlu turut serta menjaga supaya prioritas kebijakan akan terletak pada peningkatan
pelayanan pendidikan dan kesehatan sebagai dua sektor kunci dalam
strategi pembangunan lebih-lebih di daerah yang terisolir.
- Ketiga, pemerintah Pusat perlu menunjukan kepercayaan penuh kepada pemerintah provinsi tanpa
merasa dihantui ‘bahaya kehilangan kontrol’ dan menghilangkan segala
stigmatisasi pribadi pejabat pemerintahah sipil Papua.
- Keempat,
Membantu pemerintah sipil Papua dengan segera menetapkan Peraturan
Pemerintah, Perdasi dan Perdasus yang menjadi persyaratan implementasi Otsus.
- Kelima, menjamin kebebasan dan peluang kepada media masa untuk lebih lengkap dan teliti dalam pemberitaannya tanpa memihak.
- Keenam, memprakarsai
suatu gerakan nasional pemulihan kembali motivasi masyarakat, termasuk
para unsur pimpinan untuk memegang kembali pada suatu kerangka etik yang
mementingkan pelayanan pada masyarakat, sambil menjunjung tinggi nilai seperti kejujuran, kebenaran dan keadilan (sosial dan pribadi)
5. Kesimpulan
Merujuk pada fakta dan pengalaman selama 12 tahun penyelenggaraan, pelaksanaan Otonomi Khusus di Tanah Papua dapat dikatakan gagal dilaksanakan. Pelaku utama kegagalan Otonomi Khusus Papua tentunya Pemerintah ( baik Pusat dan Daerah ) sendiri. Hal ini pula yang menjadikan rakyat
Papua hanya sebagai penonton sekaligus menerima dampaknya. Berbagai
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah hampir semuanya bertolak
belakang dengan semangat dan jiwa Otonomi Khusus itu sendiri.
perjalanan
panjang damai dan kesejahteraan di tanah Papua mengalami komplikasi
yang sangat serius. Kegagalan implementasi pembangunan terutama di
bidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat.
Diantaranya adalah rumah sakit yang minim obat dan dokternya, serta
sekolah-sekolah pun masih minim guru, pelayanan publik di bidang
kesehatan dan pendidikan di Papua sangat mengkhawatirkan.
Untuk
penyelesain kasus Papua belum ada lagi tokoh Nasional yang dipercaya
masyarakat Papua, seperti almarhum Gusdur yang lebih bisa diterima oleh
rakyat Papua. Pada tanggal 25 Januari 2010 dikukuhkan almarhum Gusdur
sebagai bapak Demokrasi Papua oleh Dewan Adat Papua. Gus Dur begitu berjasa besar bagi rakyat Papua dalam hal penyelesaian masalah Papua dengan pendekatan yang dialogis dan menghargai HAM.
“Tantangan yang kita hadapi pada saat ini dan keperluan akan pembaharuan memaksa kita untuk berunding, untuk bekerjasama, untuk menyesuaikan keinginan dan pikiran kita sendiri dengan keinginan dan pikiran orang lain. (Uskup Rudolf Staverman ofm, November 1967)”
Daftar Pustaka
----------Henk Schulte Nordholt dan Gerry Van Klinken, 2007, Politik Lokal di Indonesia, Jakarta: KITLV dan Yayasan Obor Indonesia.
----------Syakrani dan Syahriani, 2009, Implementasi Otonomi Daerah Dalam Perspektif Good Governance, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
-----------Rohman, A. Ahmat, dkk. 2010. Reformasi Pelayanan Publik. Malang: Averroes Press
------------Suharto Edi, (2011), Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik, Bandung: Alfabeta.
Artikel
------------Pokok rangkuman dari materi hasil musyawarah MRP dan Orang Asli Papua pada tanggal 9 -10 Juni 2010. Musyawarah
ini dihadiri wakil orang Papua dari semua unsure ( Agama, Adat,
Perempuan, Pemuda, dsb ) yang ada ditanah Papua dan luar Papua. Hasil
Musyawarah menyatakan bahwa Otonomi Khusus Papua telah gagal total dilaksanakan di Tanah Papua.
------------Vincentsius Lokobal, KEGAGALAN PELAKSANAAN UU No. 21 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS PAPUA 10 TAHUN DI TANAH PAPUA
------------Hasil survey Foker LSM Papua, 2009 tentang AKSES MASYARAKAT PAPUA DALAM PELAYANAN PUBLIK,
-------------Pangi Syarwi, Dasar Pemikiran Otonomi Khusus Papua, Opini
------------Theo van den Broek ofm, SEMINAR SEHARI BERTEMA “MEMBANGUN KAPASITAS UNTUK IMPLEMENTASI OTONOMI KHUSUS PAPUA” Centre for Strategic and International Studies, Jakarta, 17 Februari 2004
0 comments:
Post a Comment