Pada 10 November 2001, tepatnya
13 tahun yang lalu, Pemimpin Besar Bangsa Papua Barat, Dortheys Hiyo Eluay,
ditemukan tewas dalam mobilnya di Kilo Meter 9, Koya, Muara Tami, Jayapura.
Belakangan diketahui, Komando Pasukan Khusus (Kopassus) telah menculik dan
membunuhnya.
Pengantar
Penculikan
dan pembunuhan Dortheys Hiyo Eluay (64), Ketua Presidium Dewan Papua (PDP),
merupakan salah satu implikasi dari budaya militerisme dan kekebalan hukum
(impunity) sejak Papua Barat (Provinsi Papua dan Papua Barat, red) dianeksasi
oleh Indonesia.
Kekerasan
ini berawal semenjak Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia
mendeklarasikan Trikora, pada 19 Desember 1961 di Yogyakarta. Isi Trikora,
pertama bubarkan "Negara Boneka" Irian Barat buatan Belanda; kedua,
mobilisasi massa; dan ketiga, kibarkan sang saka merah putih di Irian Barat.
Ketika
itu, banyak rakyat sipil Papua Barat diintimidasi dan dibunuh. Sejak integrasi
dengan Indonesia, pemerintah Jakarta mulai menerapkan pendekatan militer dengan
melakukan operasi militer di berbagai wilayah di tanah Papua. Kurang lebih
100.000 rakyat Papua Barat di bunuh selama 38 tahun integrasi dengan Indonesia.
Proses
penghancuran ini semakin meningkat terutama ketika rakyat Papua Barat menuntut
memisahkan diri dari Indonesia sejak reformasi 1998, dengan jatuhnya Presiden
otoriter Soeharto.
Berbagai
aksi damai menuntut merdeka dihadapi dengan kekerasan, seperti peristiwa Biak
berdarah, 6 Juli 1998; Sorong, 5 Juli 1999; Timika, 2 Desember 1999; Merauke,
16 Februari 2000; Nabire, 28 Februari sampai Maret 2000; Sorong, 27 Juli 2000
dan 22 Agustus 2000; Wamena, 6 Oktober 2000.
Aspirasi
merdeka terus bergulir dan terungkap secara jelas dan resmi dihadapan Presiden
B.J. Habibie di Istana merdeka tanggal 26 Februari 1999 oleh wakil-wakil
masyarakat Papua yang tergabung dalam Tim 100. Tuntutan itu begitu mengejutkan,
sehingga dijawab dengan permintaan untuk merenungkan tuntutan itu lebih dalam.
Bersamaan
dengan itu, operasi rahasia terus ditingkatkan untuk meredam para aktivis Papua
Barat, menjelang Kongres Rakyat Papua II 2000, yang berlangsung dari tanggal 29
Mei-4 Juni 2000.
Seminggu
sebelum Kogres Rakyat Papua II 2000, Wakil Presiden Megawati mengadakan
kunjungan tiba-tiba ke Papua.
Kunjungan
Megawati ini disambut dengan aksi demonstrasi oleh para aktivis pro merdeka di
seluruh tanah Papua. "Kesan kuat” tentang keinginan merdeka rakyat Papua
Barat di berbagai tempat yang dikunjungi menjadi laporan penting bagi Megawati.
Hasil
kunjungan Megawati (Wapres) disampaikan kepada Muspida Provinsi Tingkat I Papua
di Jayapura. Selanjutnya, berdasarkan hasil penilaian (assessment) Megawati
menjadi laporan Gubernur (Caretaker), Musiran Darmosuwito, (mantan wakil
Gubernur Timor Timur) melalui radiogram ke Departemen Dalam Negeri (Depdagri)
tertanggal 2 Juni 2000.
Terutama,
sejak mengkristalnya aspirasi Papua Merdeka pasca Kongres Papua II 2000. Ini
bisa dilihat dari bocoran dokumen sangat rahasia yang telah dikeluarkan oleh
Dirjen KESBANG dan LINMAS DEPDAGRI dalam nota dinas nomor 578/ND/KESBANG/D
IV/VI/2000 tanggal 9 Juni 2000.
Bocoran
dokumen tersebut berisi konsep tentang "Rencana Operasi Pengkondisian
Wilayah dan Pengembangan jaringan Komunikasi Dalam menyikapi arah politik Irian
Jaya (Papua) untuk merdeka dan melepaskan diri dari Negara Republik
Indonesia".
Sasaran
operasi meliputi, (1) pengkondisian wilayah kabupaten dan kota di Papua sampai
di daerah terpencil; (2) pengembangan jaringan komunikasi dengan memanfaatkan
tokoh-tokoh berpengaruh dan organisasi yang mendukung dengan kegiatan seperti
membuat statement, apel akbar, dan lainnya; (3) sasaran diplomasi untuk
memperoleh dukungan PBB dan negara kuat lainnya bagi kedaulatan Indonesia atas
wilayah Papua.
Sedangkan
metode operasi yang dikembangkan adalah, (1) klandestein (penyusupan); (2)
provokasi, penangkapan aktivis politik Papua Merdeka; (3) kegiatan pembangunan;
(4) program Papuanisasi dan mencegah internasionalisasi masalah Papua.
Sifat
operasi adalah terbuka. Artinya, penyerangan langsung terhadap demonstrasi
massa, dan tertutup (klandestein). Operasi ini selanjutnya di dukung oleh MPR
dalam sidang tahunan pada Agustus 2000, dengan ketetapan bagi Papua sebagai
wilayah perlu perhatian serius.
Dalam
dokumen sangat rahasia itu, nama Theys Eluay berada dalam faksi adat dan
pejuang. Dia satu tingkat dengan Tom Beanal (Adat), dan Yusuf Tanawani (sudah
meninggal), Pdt. Herman Awom dan Dr. Karel Phil Erari (tokoh Gereja); Dr. Benny
Giay dan Agus Alua (Akademisi), Drs. Jakobus Pervidya Salossa (Politisi,
Gubernur Papua saat laporan ini diterbitkan, dan sudah meninggal), Simon P.
Morin (Politisi), John Rumbiak dan Yohanis Bonay (ELS-HAM Papua); Gerson Abrauw
dan Diaz Giwijangge (elemen mahasiswa); Beatrix Koibur dan Ketty Yabansabra (elemen
perempuan).
Menurut
Kantor Berita Reuters (30/11/2000), setelah konfirmasi dengan pihak DEPDAGRI
mengakui adanya rapat untuk mengatasi gejolak yang oleh Jakarta disebut
separatisme di Papua yang dihadiri oleh 13 instansi pemerintah di tingkat
nasional.
Pihak
Kepolisian Papua (Irian Jaya) menterjemahkan Rencana Operasi itu dengan membuat
Telaahan Staf Tentang Upaya Polda Irian Jaya (Papua) Menanggulangi Separatis
Papua Merdeka Dalam Rangka Supremasi Hukum pada bulan November 2000.
Telaahan
staf ini kemudian ditindaklanjuti dengan menyusun operasi yang disebut
"Operasi Sadar Matoa 2000" yang berlangsung 90 hari. Operasi ini
ditunjukan kepada gerakan aktivis Papua Merdeka atau OPM dan simpatisannya.
Operasi
Tuntas Matoa ini menunjukkan aparat Polisi Daerah (Polda) Papua telah memiliki
dan mempersiapkan suatu rencana operasi yang sistimatis dalam bertindak
terhadap apa yang mereka sebut sebagai gerakan separatis.
Kebijakan
Kepolisian itu merupakan bagian dari kebijakan negara secara keseluruhan. Dua
dokumen ini menunjukkan adanya unsur sistematis, yakni memperlihatkan tindakan
yang terorganisir dan mengikuti pola yang berulang.
Pada 11 November 2001, tepatnya 13 tahun yang lalu, Pemimpin Besar
Bangsa Papua Barat, Dortheys Hiyo Eluay, ditemukan tewas di Kilo Meter 9, Koya,
Muara Tami, Jayapura. Belakangan diketahui, Komando Pasukan Khusus telah
menculik dan membunuhnya. Dibawah ini laporan lengkap bagian kedua yang disusun
Elsham Papua.
Profil
Theys dan masa-masa menjelang kejadian 10 November 2001
Unsur
lainnya adalah tindakan yang luar biasa yang ditujukan aparat kepada sekelompok
atau seseorang penduduk sipil. Secara khusus dalam kasus Theys, terlihat sekali
bagaimana penculikan dan pembunuhan dengan perencanaan yang sangat matang dan
rapih.
Profil
Theys sebagai tokoh sipil, sekaligus tokoh adat yang berpengaruh dijadikan
sasaran karena berseberangan dengan pemerintah Jakarta.
Karakter
Theys Hiyo Eluay memang penuh kontroversi. Sepertinya ia memiliki dua wajah,
yakni wajah "se-olah-olah pro pemerintah Indonesia" dan sekaligus
"wajah Pro Papua Merdeka".
Kepada
pihak pemerintah Indonesia, ia lihai tampil berbicara dengan "bahasa
budaya", sedang kepada massa rakyat Papua ia tampil mendorong dengan
"bahasa politik".
Yang
sering ditekankan oleh Theys adalah perjuangan secara damai dan dalam koridor
sopan santun dan cinta kasih. Pada Oktober 1999 atas nama tokoh adat dan
Ondofolo Besar, Sereh, Sentani, dan Ketua Lembaga Musyawarah Adat Papua dia
mengangkat Yorris Raweyai sebagai Ketua Lembaga Musyawarah Adat (LMA) cabang
Jakarta.
Ketika
ide Papua Merdeka muncul semarak seantero tanah Papua, bersama Yoris Raweyai,
(Ketua Pemuda Pansila) mendeklarasikan ide "One Nation, Two Systems"
bagi masa depan rakyat Papua, pada Agustus 1998, di Gedung Bank Pembangunan
Daerah (BPD) Provinsi Papua.
Theys
juga terlibat dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera 1969). Di zaman Orde
Baru, ia anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dari Fraksi Karya
Pembangunan dalam tiga periode.
Namun
setelah tidak dicalonkan lagi pada pemilihan umum 1996, dia kembali bersuara
keras tentang kemerdekaan Papua. Puncaknya terjadi ketika Theys bersama rakyat
Papua menyatakan dekrit dan mengibarkan bendera Bintang Kejora pada 1 Desember
1999 dan 1 Mei 2000.
Dia
juga menandatangani komunike politik pada Musyawarah Besar Dewan Papua di
Jayapura, 23-24 Februari 2000. Dan pada 29 Mei-4 Juni 2000 dia mengelar Kongres
Nasional II Rakyat Papua Barat, atau yang dikenal sebagai Kongres Rakyat Papua,
di Jayapura. Sekitar 3000 orang Papua dari berbagai wilayah menghadiri
peristiwa bersejarah tersebut.
Pada
saat pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) otonomi khusus bagi provinsi
Papua oleh DPR RI di Jakarta 20 Oktober 2001, Theys dan Presidium Dewan Papua
ikut hadir.
Mereka
secara tegas menolak undang-undang Otonomi Khusus ini melalui gerakan damai.
Ketika itu, kepada wartawan berkali-kali almarhum Theys mengatakan, “Otonomi
Khusus bukan urusan saya. Saya tak mau menerima ide Otonomi. Saya hanya
berpikir soal Papua Merdeka.”
“Alasannya,
pertama, karena kami lah yang punya kekayaan. Pemerintah yang harus meminta
kepada kami agar menyerahkan kekayaan. Kemudian mereka membaginya, 80 persen
untuk kami dan 20 persen untuk pemerintah pusat."
"Kami
yang mestinya membaginya. Kedua, di Kongres Rakyat Papua II, rakyat tidak
memberi mandat otonomi khusus. Jadi, yang harus kami lakukan mengupayakan agar
kemerdekaan dikembalikan,” kata Theys saat itu.
Kepada
Tempo Oktober 2001, Theys dengan tegas mengatakan bahwa PDP adalah representasi
seluruh rakyat Papua kecil-besar, tua-muda, lelaki-perempuan, yang tinggal di
dalam atau di luar negeri, yang hidup atau pun yang mati, semua menghendaki
kemerdekaan Papua.
“Hanya
segelintir yang tidak demikian, orang-orang semacam Freddy Numberi yang hanya
memikirkan dirinya sendiri. Mereka menipu diri sendiri, bangsa Papua, dan juga
menipu Tuhan,” kata Theys.
Di
Jakarta, para elit bersemangat dengan pengesahan RUU otonomi khusus, tetapi di
tanah Papua sendiri sejak Oktober sampai November 2001 ada operasi gabungan
antara TNI-POLRI pada malam hari untuk menjaga kemanan dan ketertiban
masyarakat (Kamtibmas) di wilayah hukum kota Jayapura dan sekitarnya.
"Patroli
Garnizun", istilah yang sering dikenal dalam suatu operasi siaga-darurat
ini melibatkan berbagai komponen institusi aparat keamanan dari jajaran Polri
dan TNI.
Operasi
ini mirip dengan "operasi jam malam". Menurut hasil monitoring
ELS-HAM Papua, operasi ini melibatkan TNI Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan
Kopassus. Di kota Sentani dan sekitarnya, tempat tinggal (alm) Theys Hiyo
Eluay, operasi ini melibatkan Batayon Infantri 751 yang bermarkas di Polomo,
Sentani.
Dampak
operasi ini menyebabkan masyarakat kota Jayapura dan sekitarnya resah dan takut
keluar malam. Beberapa warga terutama dari kalangan muda yang kedapatan keluar
malam ditangkap dan diangkut dengan truk miliki tentara dan mobil patroli ke
pos-pos militer atau polisi terdekat.
Ironisnya,
almarhum Theys Hiyo Eluay, Ketua Presidum Dewan Papua (PDP) diculik 10 November
2001 malam pukul 21.45 di tengah keramaian kota Jayapura dan akhirnya dibunuh.
Berdasarkan
investigasi, ELS-HAM Papua mendapat informasi dari (DW) yang merupakan salah
satu kurir TW yang selama ini bekerjasama dengan Kopassus mengatakan bahwa pada
29 Oktober 2001, bertempat di kantor cabang milik CV. Megapura Arso I, Jl.
Trans Irian, mereka rapat bersama Kopassus.
Salah
satu agendanya adalah "rencana perlakuan jam malam" di daerah Koya
Timur, Tengah, dan Koya Barat. Alasannya adalah Kopassus sedang mencari seorang
anggota TPN (Tentara Pembebasan Nasional) yang membuat onar di Koya.
Berdasarkan
hasil rapat tersebut, TW dimintai untuk menyampaikan kepada warga masyarakat
yang lain untuk tidak boleh keluar malam di atas pukul 21:00 - 06:00.
Selama
3 minggu patroli jam malam ini dilakukan oleh Polisi dan Koramil setempat,
Satuan Tugas (Satgas) Kodam I Bukit Barisan/126 yang berada di daerah Arso,
Muara Tami.
Pengumumam
dimaksud baru akan dicabut sambil menunggu keputusan selanjutnya sesuai situasi
dan kondisi keamanan wilayah. Patroli gabungan ini menandakan adanya semacam
isolasi wilayah di sekitar tempat kejadian perkara.
Seminggu
sebelum peristiwa penculikan dan pembunuhan Theys H. Eluay ada isu
"Dracula". Isu ini muncul dari para pemilik warung makan di sekitar
Kota Raja, 1 kilometer dari arah lokasi penculikan dan 29 kilometer menuju arah
ditemukannya mayat Theys Hiyo Eluay di Koya Tengah.
Koran
Cenderawasih Pos edisi 8, 9, 10 November 2001 memuat isu aksi
"Dracula" secara berturut-turut. Akibat berita "Drakula"
tersebut kebanyakan warga panik, terutama keluarga pemilik warung. Isu
"Drakula" memang benar-benar meneror publik kota Jayapura, Abepura
dan sekitarnya agar tidak keluar malam.
Pada 11 November 2001, tepatnya 13 tahun yang lalu, Pemimpin Besar
Bangsa Papua Barat, Dortheys Hiyo Eluay, ditemukan tewas di Kilo Meter 9, Koya,
Muara Tami, Jayapura. Belakangan diketahui, Komando Pasukan Khusus telah menculik
dan membunuhnya. Dibawah ini laporan lengkap bagian ketiga yang disusun Elsham
Papua.
Sabtu,
10 November 2001 pagi, sekitar pukul 09.00 Wit, ada dua orang berkunjung di
salah satu Kampung dekat ditemukannya mayat Theys Hiyo Eluay. Mereka memakai kendaraan
jenis Starwagon jurusan Abepura - Koya Barat 5 kilometer.
Saat Pemakaman. |
Kedua
orang tersebut mengaku kepada masyarakat setempat bahwa mereka adalah agen
intelejen dari Kepolisian Daerah Irian Jaya. Ketika ELS-HAM Papua meminta
konfirmasi, warga setempat mencoba mengidentifikasi kedua "intel"
tersebut bahwa satunya seperti orang Ambon dan yang satunya seperti orang Jawa.
Maksud
kedatangan mereka adalah untuk bertemu dengan Komandan Satgas Papua (AR),
sekaligus ingin melihat bagaimana keberadaan Satgas Papua di kampung tersebut.
Informasi
yang dibutuhkan kedua intel itu berkaitan dengan: (1) keaktifan Satgas hingga
sekarang menjelang 1 Desember 2001; (2) jumlah anggota Satgas Papua di kampung
Skouw: (3) jumlah Kepala Keluarga.
Kedua
intel juga meminta informasi tentang keberadaan para tokoh pro merdeka di
Kampung Skouw, apakah ada yang masih aktif atau tidak.
Pada 10
November 2001 pukul 20.30 Wit, malam seorang warga (IN) dari kampung Skouw,
hendak berburu di sekitar lokasi ditemukannya mayat Theys Hiyo Eluay, tiba-tiba
ia di hadang oleh tiga anggota Kopassus (Agus, Yadi, dan Sanusy) dengan memakai
kendaraan Super Kijang.
Saat
itu juga terlihat Danpos Kopassus Transat memakai Vespa, dan seorang anggota
lagi memakai motor Trael. Seperti biasanya, sebelumnya (IN) berangkat berburu
ia sudah lapor ke Pos Kopasssus di Desa Skow Sae (Transat) perumahan pansiunan
TNI, yang dihuni oleh transmigrasi dari luar Papua maupun transmigrasi lokal.
Dengan
kejadian tersebut (IN) tidak sempat berburu dan langsung pulang dan tiba
kampung Skouw kurang lebih pukul 23.30. Menurut (IN) kepada ELS-HAM Papua bahwa
situasi malam itu sepertinya ada sesuatu yang aneh karena kelihatan mereka
sangat sibuk. Tidak seperti bisanya, pos jaga saja ditinggalkan. Semua anggota
Kopassus dikerahkan untuk siaga.
Investigasi
ELS-HAM Papua, di sekitar lokasi ditemukannya almarhum Theys menunjukkan
keanehan. Yang jelas, para "penculik" dengan leluasa bergerak pada
malam itu (lihat juga peta penculikan).
Dari
sketsa (peta) penculikan, mulai dari Markas Satgas Tribuana Kopassus, Hamadi,
lokasi penculikan hingga tempat kejadian perkara (TKP) di Koya Tengah sangat
jelas sekali para "penculik" dengan leluasa melewati sekitar 13 pos
keamanan ataupun instalasi militer dan Polisi yang ada di Jayapura dan
sekitarnya.
Keterangan
Para Saksi
Sabtu,
10 November 2001 sekitar pukul 10.30 Wit, Komandan Satgas Tribuana (Kopassus)
Kol. Inf. Hartomo datang sendiri menjemput almarhum Theys Hiyo Eluay, Ketua
Dewan Presidium (PDP) di rumah dengan membawa kado Natal buat almarhum yang
berisi baju kameja lengan pajang warna putih.
Almarhum
Theys Hiyo Eluay berangkat dari rumah menuju Hotel Matoa sekitar pukul 11.00
Waktu Papua. Tujuannya, mengikuti rapat Presidium Dewan Papua (PDP ) di Hotel
Matoa, Jayapura.
Sekitar
pukul 18.00 almarhum Theys sempat menelepon isterinya di rumah Sentani, bahwa
dirinya langsung ke Hamadi untuk megikuti acara resepsi di Markas Kopassus
Tribuana.
Sekitar
pukul 18.30, almarhum Theys dan sopirnya Aristoteles Masoka (23 thn) tiba di
tempat acara resepsi peringatan Hari Pahlawan 10 November di Markas Kopassus
Tribuana Hamadi, Kecamatan Jayapura Selatan, Kotamadya Jayapura.
Walau
acara resepsi sedang berlangsung, sekitar pukul 21.30 Wit, almarhum Theys pamit
pulang ke Sentani bersama sopirnya Aristoteles Masoka atau sering di panggil
Aris dengan mobil pribadi almarhum bernomor polisi B 8997 TO.
Selang
beberapa menit kemudian, sekitar pukul 22.10, sopir telepon dengan Handphone
kepada Yaneke Ohee (40 thn) isteri almarhum Theys Hiyo Eluay, beritanya:
"Kami sedang dihadang dan di sandera".
Isteri-nya
bertanya siapa yang sandera kamu? Sopir hanya menjawab, "Mama tolong
beritahukan kepada bapak-bapak pendeta, jemaat, tolong doakan kami. karena saya
dengan Bapak dalam keadaan bahaya! Kita punya Allah Papua itu Hidup!”. Dan
suara telepon terputus hilang.
Di
sekitar lokasi Perumahan Pemerintah Daerah (Pemda) I Entrop-Jayapura, ada saksi
yang melihat aksi penculikan terhadap Theys Hiyo Eluay. Menurut saksi ini,
kira-kira pukul 21.45, mereka melihat sebuah kendaraan kijang yang berwarna
gelap menghadang sebuah mobil kijang yang juga warna sama gelap (kemudian
diketahui kendaraan itu milik alm. Theys H. Eluay).
Jarak
pandang 2 meter, terlihat jelas tiba-tiba dua orang non-Papua, rambut
lurus-pendek, berbadan kekar, warna kulit terang dan berpakaian hitam, turun
dari kendaraan yang menghadang itu lalu memukul sopir Theys kemudian mencoba
menarik sopir Theys keluar pintu.
Sopir
Theys tetap memegang setir mobil dengan kuat, sehingga salah satu diantara
kedua orang itu mendorong sopir alm. Theys ke dalam mobil dan naik mengambil
alih setir langsung jalan. Pada saat itu mereka (saksi) melihat sebagian kaki
dari sopir itu tergantung di luar mobil yang sedang dilarikan ke arah Abepura.
Pada
pukul 21.50 saksi lain yang membawa Aristoteles Masoka (23) sopir alm. Theys,
bahwa sekitar 50 meter dari lokasi penculikan, saat mereka meluncur dari arah
Abepura ke Jayapura dengan menggunakan mobil Carry (taksi/angkutan umum),
melihat ada seseorang yang tergantung di sebuah mobil kijang berwarna gelap
yang sedang melaju dari arah Jayapura ke Abepura.
Saat
itu sempat macet akibat kejadian tersebut. Melihat kejadian tesebut, maka sopir
mobil Carry memberhentikan mobilnya sambil menyaksikan apa yang sedang terjadi.
Setelah
mobil kijang yang membawa orang yang tergantung itu lewat, dan terlihat
berhenti pada jarak kurang lebih 50 meter, tiba-tiba orang yang tergantung itu
terlepas jatuh dari mobil kijang dan berlari minta tolong kepada mereka
(saksi).
Setelah
orang itu dekat, mereka ketahui bahwa dia adalah sopir alm. Theys Hiyo Eluay.
Mereka (para saksi) langsung membawa sopir Theys dan melaju ke arah Jayapura.
Selama
dalam perjalanan, sopir Theys menjerit dan minta supaya dia diantar ke Markas
Satgas Tribuana Kopassus di Hanurata-Hamadi. Atas permintaan Aristoteles (sopir
alm. Theys), maka para saksi mengantar dia sampai di Markas Satgas Tribuana,
Kopassus di Hamadi.
Mereka
(para saksi) menurunkan Aristoteles sekitar 5 meter dari pintu masuk ke
Markas/Satgas Kopassus dan saat itu mereka (para saksi) melanjutkan perjalanan
ke Jayapura.
Salah
seorang saksi mata yang diundang sebagai penerima tamu pada acara peringatan
Hari Pahlawan, 10 November 2001 yang dihadiri oleh alm. Theys Hiyo Eluay,
menerangkan kepada ELS-HAM bahwa kira-kira pukul 22.10 atau selang kurang lebih
tiga puluh menit setelah alm. Theys Hiyo Eluay pulang, dia disuruh oleh
beberapa anggota Kopassus untuk membereskan ruangan.
Saat
itu dia melihat seseorang masuk dirangkul oleh lebih dari dua orang anggota
Kopassus dari arah pintu masuk menuju ke ruangan prajurit.
Ketika
itu orang yang dirangkul itu menangis dan berkata" aduh…kalau ada apa-apa
nanti saya yang bertanggung jawab kepada ibu. Ini mobil hilang, bagaimana
ini".
Melihat
kejadian itu, anggota Kopassus langsung menyuruh kami pulang dari tempat
tersebut pada saat itu juga. (Orang itu kemudian dikenal sebagai Aristoteles,
sopir Theys Eluay).
Minggu,
11 November 2001, pukul 09.00, keluarga menerima telepon dari Arthur Tombun,
mantan Kapolsek Sentani yang memberitahukan bahwa mobil Theys Eluay ditemukan
di Km 9 Desa Koya Kecamatan Abepura.
Pukul
14.35, tim investigasi ELS-HAM Papua, Polres Papua, Presidium Dewan Papua
(PDP), LBH Jayapura, dan para wartawan berangkat ke Tempat Kejadian Perkara
(TKP).
Sampai
di lokasi ditemukan jenasah Theys di jok mobilnya dalam posisi duduk terletang
dan kedua kakinya memanjang ke depan. Di bagian pusat perutnya ada bekas
goresan merah lembab.
Lidahnya
keluar tergantung. Ketika tim investigasi mencoba mengamati kondisi tubuh yang
sekarat itu secara detail, aparat keamanan buru-buru menaikkan jenasah Theys ke
mobil Ambulans menuju Rumah Sakit Umum Dok II Jayapura.
Operasi
evakuasi mayat Theys di Tempat Kejadian Perkara (TPK) langsung di pimpin oleh
Kapolres Jayapura, AKBP Drs. Daud Sihombing. Sopir pribadi Theys, Aristoteles
Masoka (23 thn) juga diculik, hingga saat laporan diturunkan, belum ditemukan
keberadaannya.
Pukul
16.15, di kota Sentani tempat kediaman almarhum terjadi amuk massa karena
mendengar berita kematian Theys yang tidak wajar itu. Masyarakat yang sangat
marah itu membakar 2 buah toko, 2 buah bank, 1 Apotek, dan 1 hotel. Untuk
meredam aksi massa itu, aparat keamanan melepaskan beberapa kali tembakan.
Rabu,
14 November 2001, menurut hasil otopsi dokter dari Lembaga Patologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia No. 200/IBS/SB/2001 menyatakan bahwa kematian
Theys Hiyo Eluay tidak wajar dicurigai oleh karena pencekikan/pembengkakan.
Seminggu
setelah pemakaman Theys (17/11/2001), Thaha Alhamid (48), Sekjen Presidium
Dewan Papua (PDP) diancam dibunuh oleh seorang penelpon gelap yang mengirim
pesan melalui Handphone.
Penelepon
gelap itu melakukan aksinya pada Rabu (27/11/2001) malam dengan mengirim pesan
singkat dalam gaya bahasa Papua yang berbunyi: "kaka Taha ko siap-siap
sudah untuk susul bapak Theys" (kakak Taha kamu siap-siap untuk susul
bapak Theys).
Thaha
membaca pesan teror itu pada pukul 21.30 WIT, sedangkan posisi waktu penelepon
saat terekam di Handphone Thaha Alhamid menunjukan pukul 19.24 WIB (waktu Papua
21.24 WIT), tercantum nomor HP 0815-1649058.
Hal
yang sama juga dialami oleh Boy Eluay (35), putra sulung almarhum Theys Hiyo
Eluay, Ketua Presidium Dewan Papua (PDP). Kepada ESL-HAM Papua, Boy mengaku
mendapat ancaman melalui telepon gelap. Penelepon gelap itu sudah beberapa kali
melakukan aksinya.
Boy
merasa tidak nyaman karena terus diteror, dia melaporkannya ke ELS-HAM pada
Selasa, 4 Desember 2001 ketika Boy menerima SMS dari penelepon yang sama.
Pesan
itu berbunyi: "Boy, you kasih keterangan baik-baik. Kau harus membantu
Polisi karena kita juga pihak yang membantu keluarga. Nama-nama yang bunuh
Bapak (maksudnya Theys Hiyo Eluay) sudah kami terima".
Boy
membaca pesan teror itu pada pukul 19.00 WIT, dan nomor Handphone yang terekam
tercantum nomor HP 08124801124. Usai menerima telepon ancaman itu, Boy Eluay
menghubungi beberapa kenalannya untuk mengindentifikasi pemilik nomor HP
tersebut.
Setelah
dicek, ternyata nomor HP 08124801124 itu milik Kapten Polisi Arif Basra (Polda
Papua). Kini Boy Eluay dikawal ketat oleh beberapa anggota Satgas Papua,
sedangkan Satgas Koteka untuk menjaga keamanan sekitar rumah Boy Eluay yang
beralamat di perumahan BTN Pos 7, Sentani.
Dua
hari setelah pemakaman almarhum Theys, Senin, 19 November 2001 pukul 11.10,
ELS-HAM Papua menerima telepon dari Kapolres AKB Pol. Drs. Daud DJ Sihombing,
SH. Beliau mengatakan, dirinya ingin mengundang pihak ELS-HAM Papua guna
membicarakan kasus misteri kematian Theys Hiyo Eluay.
Menurut
Kapolres, dirinya tidak mau berbicara lama ditelepon karena baik telepon biasa
ataupun Handphone semuanya disadap. Karena itu, disepakati pertemuan tertutup
di kantor ELS-HAM Papua, Jalan Kampus, ISTP Padang Bulan.
Kemudian
pada hari yang sama pukul 21.35, ELS-HAM Papua menerima telepon dari Komisaris
Polisi Boy Rafly, Kabag Serse Polda Papua. Tujuannya sama dengan Kapolres,
ingin membicarakan misteri kematian Theys Hiyo Eluay.
Pertemuan
dengan Komisaris Polisi Boy Rafly, disepakati pukul 14.00 dan pukul 16.00
dengan Kapolres Jayapura. Dalam pertemuan itu, Boy Rafly menyampaikan usulan
Kapolda Papua Irjen Drs. Made Mangku Pastika yang memohon kepada ELS-HAM agar
mengamankan para saksi pembunuhan Theys.
Dan
mereka (pihak Polisi) tentunya akan mem-back up. Beliau juga mengatakan bahwa
para saksi yang berada di tahanan saat sekarang ini sudah dimintai keterangan.
Mereka (polisi) membutuhkan kerjasama dengan pimpinan di ELS-HAM Papua guna
membicarakan perlindungan bagi para saksi.
Sedangkan
Kapolres Jayapura Drs. Daud Sihombing, SH menyatakan dari keterangan saksi
kepada pihak polisi bahwa saksi menyatakan mereka pernah dipanggil oleh pihak
Satgas Tribuana, Kopassus entah untuk kepentingan apa.
Tetapi
para saksi tidak memenuhi panggilan tersebut, sehingga para saksi itu merasa
takut. Sebaiknya saksi datang ke sana (Markas Satgas Tribuana) jangan satu
orang, tetapi lebih dari satu supaya saksi tidak menjadi takut tentang apa yang
diucapkan dan ekspresi mereka (pihak yang memanggil) apabila saksi dibentak dan
diancam dibunuh oleh mereka.
Maka
dibuatlah indikasi dan memperkuat indikasi-indikasi yang sudah ada kalau bukan
mereka yang melakukan mereka kan tidak mungkin mengancam, kan logikanya begitu?
Ini tujuan saya yang pertama datang kesini, kata Kapolres. Yang kedua,
bagaimana kita mengamankan saksi ini.
Kalau
kita menangani secara langsung mungkin akan menjadi perhatian masyarakat dan
Kapolres menawarkan kepada ELSHAM untuk menangani dan melindungi para saksi dan
akan dibantu oleh Pihak Polres membackup dengan keamanan juga bantuan makanan.
Dalam
pertemuan itu juga, Kapolres menyatakan bahwa penyelidikan kasus pembunuhan
Theys Hiyo Eluay akan diumumkan dalam jangka waktu satu minggu ini.
Atas
permintaan kerjasama tersebut, pihak ELS-HAM Papua melayangkan surat secara
resmi kepada Kapolda, yang intinya menyatakan terima kasih atas koordinasi dari
pihak Kepolisian di Papua.
Pada
prinsipnya perlindungan bagi para saksi menjadi perhatian kita bersama, tetapi
ELS-HAM Papua sebagai lembaga independen tidak bersedia kerja sama dengan pihak
Polisi dalam hal pengamanan bagi para saksi.
Karena
secara hukum, perlindungan para saksi merupakan tanggungjawab dan kewajiban
aparat kepolisian. ELS-HAM Papua tetap melakukan investigasi sebagai lembaga
formal yang bergerak di bidang Hak Asasi Manusia di tanah Papua, pihak polisi
berkewajiban melindungi para saksi.
Satu
minggu setelah kematian Theys Hiyo Eluay, Made Mangku Pastika (Kapolda Papua)
menyatakan bahwa penculikan dan pembunuhan Theys Hiyo Eluay dilakukan oleh tiga
kelompok, yakni kelompok penggagas, perencana, dan kelompok eksekutor. Bisa
jadi, masing-masing kelompok tidak saling tahu, tetapi mempunyai tujuan dan
misi yang sama.
Begitu
juga tentang keberadaan Aristoteles Masoka, sopir Theys sebagai saksi kunci
berkembang cerita yang beragam. Sebelumnya pihak kepolisian menyatakan
Aristoles merupakan saksi kunci membuka tabir tewasnya Theys Hiyo Eluay.
Namun,
pada 4 Desember 2001 dalam rapat koordinasi dengan Mengkopolkam di Jakarta,
Kapolda Papua, Made Mangku Pastika menyatakan bahwa posisi Aristoles (sopir
almarhum Theys) terindentifikasi masih hidup dan sedang menyeberang ke PNG.
Selain
itu, diantara masing-masing anggota Presidium Dewan Papua (PDP) tidak tahu
persis di mana posisi Aristoles, sopir alamarhum Theys itu.
Temuan
ELS-HAM Papua
Sebagaimana
diuraikan diatas, bahwa lahirnya dokumen Depdagri yang sangat rahasia itu dan
Operasi Sadar Matoa yang digelar oleh Polda Papua menunjukkan bagaimana peranan
Presiden Megawati Soekarnoputri (yang saat itu sebagai Wakil Presiden RI)
memberikan kontribusi yang sangat besar bagi jatuhnya korban warga sipil di
tanah Papua akhir-akhir ini.
Theys
Hiyo Eluay merupakan "puncak" dari kebijakan Megawati untuk
memberantas apa yang mereka sebut separatisme di Papua, bahkan di Aceh.
Oleh
karena kebijakan Depdagri dan Kepolisian Papua itu merupakan bagian dari
kebijakan negara secara keseluruhan, pemerintahan Presiden Megawati segera
bertanggungjawab atas penculikan dan pembunuhan Theys Hiyo Eluay.
Dua
dokumen sebagaimana diuraikan diatas menunjukkan adanya unsur sistematis, yakni
memperlihatkan tindakan yang terorganisir dan mengikuti pola yang berulang,
sehingga ada alasan kuat untuk meminta pihak internasional membentuk tim
independen terlibat dalam investigasi penculikan dan pembunuhan Theys Hiyo Eluay.
Berdasarkan
pengalaman selama ini pemerintah, dan aparat penegak hukum Indonesia merupakan
bagian dari tindakan terorganisir tersebut. Apalagi Komnas HAM, diragukan
independensinya ketika berhadapan dengan kasus-kasus pelanggaran HAM yang
melibatkan TNI.
Hasil
investigasi Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELS-HAM) Papua dalam
kaitannya dengan penculikan dan pembunuhan Theys Hiyo Eluay, menemukan beberapa
fakta.
Pada
malam 10 November 2001, Theys Hiyo Eluay diculik dan dibunuh sesudah menghadiri
resepsi yang diselenggarakan oleh Satgas Tribuana Kopassus.
Tetapi,
mereka ini menolak hadir kecuali Theys, karena Kol. Inf, Hartomo (Komandan
Kopassus Tribuana) datang sendiri menjemput di rumah pada Sabtu, 10 November
2001 sekitar pukul 10.30 WIT dengan membawa kado Natal buat Theys yang berisi
baju Kemeja Putih Lengan Panjang.
Selain
itu, menurut hasil otopsi dokter dari Lembaga Patologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia No. 200/IBS/SB/2001 tertanggal 14 November 2001
menyatakan bahwa kematian Theys Hiyo Eluay tidak wajar dicurigai oleh karena
pencekikan/pembengkakan.
Begitu
juga dari keterangan para saksi, sopir Theys Aristoles Masoka (saksi kunci)
berada di tangan Kopassus, bahkan menurut hasil penyelidikan Polisi menyatakan
bahwa saksi kunci, sopir Theys masih hidup.
-------------------------------------------
Sumber: Love Papua.
0 comments:
Post a Comment