Penulis : Iwan Konedra
Untukmu Sahabatku
Bagaimana kabarmu kawan? Semoga
baik-baik saja. Tak seperti kami yang di sini. Berjalan dalam kepanikan, dan
bersembunyi dalam ketakutan. Desas-desus kemerdekaan yang dicetuskan oleh
sekelompok orang membuat kami terkapar dalam konflik yang berkepanjangan. Dan
tak bisa dipungkiri kawan, kami yang awalnya tak tahu apa-apa harus berani
angkat senjata untuk membela diri. Bukannya kami anti republik, tapi kami tak
punya pilihan. Kami tidak mau melawan Negara atau bahkan mengoyak kedaulatan
sang merah-putih seperti yang mereka tuduhkan kepada kami. Tapi kami justru
melawan hati nurani kami yang tak pernah menginginkan hal ini terjadi.
Sungguh kawan, kami hanya butuh
keadilan seperti yang Garuda janjikan kepada kami. Tapi apa yang kami dapatkan?
Ribuan laskar yang mereka kirimkan untuk mengamankan wilayah kami justru malah
mengimintidasi kami. Mereka seenaknya menghakimi kami. Padahal apa salah kami?
Bukankah tanah kelahiran itu adalah sebuah surga kedamaian bagi kita semua.
Tapi di mana surga itu kawan? Kami malah merasakan neraka di tanah kelahiran
sendiri. Mereka yang seharusnya melindungi kami justru menghujani kami ratusan
timah yang bertajuk peluru. Salahkah kami jika kemudian kami angkat senjata?
Maaf kawan jika dalam coretan ini
aku harus menggunakan kata “kami.” Karena ini bukan semata-mata antara aku dan
kamu. Tapi ini dari kami yang terpaksa harus berdiri tegak di bawah kibaran
Bintang kejora. Dan harus kau tahu kawan, ini semua tak pernah kami inginkan.
Tapi mereka yang memaksa kami untuk tetap bernaung di sini. Setiap pembunuhan
yang terjadi di tempat lain selalu dikaitkan dengan keberadaan kami. Dan itu semua
membuat kami harus berjalan dalam kepanikan kemudian bersembunyi dalam
ketakutan. Apakah menurut mereka bahwa lonsongan peluru yang mereka tumpahkan
di tanah kami akan membuat kami merasa nyaman? Tidak kawan. Justru itu semakin
membuat kami membenci segalanya. Maka apa salahnya jika kemudian kami angkat
senjata?
Tak perlu kau takut kawan untuk
mengunjungi kami di sini, karena kami tak ingin ditakuti. Justru sebenarnya
kami yang takut. Takut jika tak ada lagi orang yang berani melihat kami
berjuang di sini. Kami takut jika sampai di penghujung masa nanti, semua orang
akan mencap kami sebagai pengkhianat Negara. Dan yang paling kami takuti adalah
ketika sejarah kelak akan menceritakan ke generasi-generasi kami tentang
pemberontakan yang tak pernah kami inginkan.
Cukuplah kau tahu kawan, bahwa di
setiap langkah yang kami lakukan adalah upaya untuk mempertahankan apa yang
menjadi hak kami. Kami bukan pemberontak, tapi kami tak ingin diinjak-injak.
Maka jangan salahkan kami jikalau kami terpaksa angkat senjata. Sekali lagi
kami minta maaf kawan, kami tak bermaksud mencoreng sejarah kelam dalam kibaran
Merah-Putih. Tapi kami hanya mempertanyakan keberadaan Pancasila dalam Bhinneka
yang telah ambruk.
“Ketuhanan Yang Maha Esa.” Itu sila
pertama. Tapi apakah mereka yang mengirimkan serdadu untuk membantai kami masih
layak disebut ber-Tuhan? Apakah mereka yang mengimintidasi kami dan dengan
seenaknya menuduh kami pemberontak tanpa mempedulikan alasan kami, masih bisa
disebut beriman? Jelaskan pada kami kawan. karena kalau tidak, mungkin kami
tambah tersesat.
“Kemanusiaan yang adil dan
beradab.” Ini yang membuat kami tertawa dalam tangis dan menangis dalam senyum.
Dimana rasa kemanusiaan itu berada, saat anak-anak kami yang tak tahu apa-apa
harus tergeletak dengan sebuah lubang peluru yang bersarang di dadanya? Apakah
mereka yang menginterogasi kami dengan kaki dan tangan yang tak pernah diam
menghantam kami masih pantas disebut beradab? Kami memang bodoh, karena memang
kami jarang yang disekolahkan. Tapi kami masih punya hati yang bisa merasakan
perih. Jadi jangan salahkan kami jika kami angkat senjata.
Dan apalagi yang harus dibanggakan
dalam “Persatuan Indonesia.” Kita telah tercerai-berai karena keegoisan. Masih
mampukah kita untuk bersatu sementara dendam di hati kian lama kian menyiksa?
Seandainya saja Tuhan bisa mengabulkan permintaan kami, maka kami hanya meminta
satu hal. Kami hanya ingin keadilan, kami tak ingin dianak tirikan. Kekayaan
alam kami dikuras habis oleh mereka dan kemudian kami diterlantarkan. Maka wajarlah
kalau kemudian kami angkat senjata.
“Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.” Sila inilah yang
membuat kami bingung. Kami tak pernah tahu kebijaksanaan apa yang telah
diberikan penguasa Negara kepada kami. Apakah dengan membiarkan hidup kami
terisolasi di sini bisa disebut bijaksana? Dan apa pula itu perwakilan? Kami
tak pernah tahu apa rencana para wakil rakyat yang mewakili suara kami. Yang
kami tahu, ketika ada pemilihan untuk wakil rakyat maka akan mengalir dana yang
bisa membuat kami merasa hidup untuk sesaat. Dan setelah itu, semua akan
seperti hari-hari sebelumnya. Penderitaan, itulah yang kami rasa. Maka, jangan
salahkan kami jikalau kami bingung dan kemudian tersesat.
“Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.” Inilah yang kami impikan saat ini. Dari detik yang
terlewati, menit yang terlampaui, dan jam yang silih berganti. Kami menaruh
sebuah harapan bahwa hari yang cerah pasti akan datang. Bulan yang tak akan
pernah buram menatap kami lagi, hingga tak ada lagi tahun-tahun yang kelam
mengiringi kami. Itulah impian kami kawan. Impian yang akan selalu kami
wariskan ke anak cucu kami kelak.
Tak usah mereka tahu perjuangan
kami, dan tak perlu mereka tahu penderitaan kami, karena kami tak ingin menanamkan
dendam kepada mereka. Kami hanya ingin melihat generasi kami tersenyum ceria
menatap dunia. Sekali lagi kami minta maaf kawan, kami tak ingin mengutuk
Pancasila. Kami tak ingin mengoyak Sang merah putih. Kami tak ingin
mengkhianati kedaulatan Negara ini. Tapi mereka yang memaksa kami untuk
melakukan semua ini. Jadi jangan salahkan kami jikalau kemudian kami angkat
senjata.
KAMI
Aku menutup lembaran-lembaran
kertas yang bertinta merah itu. Ku tarik napas dalam-dalam , lalu kemudian ku
hembuskan ke langit. Anganku melayang, menembus deretan waktu yang telah lama
terlewati. Ada kenangan di sana. Kenangan tentang persahabatan dua orang
mahkluk adam yang menantang nasib. Perbedaan bukan jadi masalah bagi mereka.
Meski mereka dilahirkan dari suku yang berbeda, tapi mereka tetap dalam
kebersamaan. Hingga di kemudian hari, saat mereka berdua beranjak dewasa,
kemudian mereka bertekad untuk masuk dalam ujian militer.
Mereka berdua lulus bersamaan, tapi
perjalanan tugas dengan lokasi yang berbeda membuat mereka berdua terpisah.
Hingga sebuah gencatan senjata mempertemukan mereka kembali, tapi dalam kubu
yang berbeda. Bukan hanya berbeda tapi bertentangan. Dalam deruan peluru dan
pekikan geranat, mereka saling menatap, cukup lama. Tetesan-tetesan air mata yang
bercampur peluh dari sudut mata keduanya cukup mengabarkan pada alam, bahwa
mereka tak ingin semua ini terjadi.
po
po
Aku kemudian berdiri dari tempat
dudukku. Ku tatap deretan-deretan kebanggaan yang bertengger di bahuku, Dan
kemudian ku lirik baret merah yang bergantung di pojok kamarku. Dalam hati yang
kelam, ku besitkan satu ungkapan bernada doa, “Maaf kawan, aku dalam
menjalankan tugas. Tapi aku yakin, badai pasti akan berlalu. Semoga kita bisa
bertemu kembali, dalam dekapan tangan yang erat.”
0 comments:
Post a Comment