Perlawanan rakyat Papua memang sudah ada sejak sebelum
PEPERA 1969 diselenggarakan, dan meningkat sejak saat itu. Namun, apa yang
membedakan atas perlawanan yang berkembang sekarang ini adalah: metode politik
mobilisasi massa. Metode politik mobilisasi massa ini dipimpin dan diinisiatori
oleh kelompok pemuda. Kelompok pemuda yang berasal dari AMP, KNPB dan Garda
Papua. Dan kelompok pemuda ini pula yang banyak mengembangkan pengertian bahwa
perjuangan pembebasan Papua tak bisa mengharapkan dari “belas kasihan” serta
“pengakuan internasional” melainkan dari usaha yang tak kenal lelah dari
persatuan rakyat dan Bangsa Papua untuk pembebasannya.
Dalam beberapa momentum, gerakan pemuda ini lah pula yang
berhasil mendudukan “kelompok tua” yang tergabung dalam kelompok bersenjata
(TPN – OPM) yang sebelumnya terpecah-pecah bersama berbagai faksi kelompok tua
lainnya, apakah itu yang tergabung dalam PDP, Dewan Adat Papua, dan lain
sebagainya. Sebagaimana mereka dapat duduk bersama dan bersatu dalam United
Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Proyek semacam itu pernah terjadi
pada tahun 2005, namun tak bertahan lama. ULMWP sebagai proyek persatuan lebih
terorganisir ketimbang sebelumnya.
Jika pada awal tahun 2000an isu perpecahan gerakan dan
rakyat Papua melalui isu “gunung” dan “pantai” mewarnai analisa dan penilaian
terhadap Papua serta pergerakannya, beberapa tahun belakangan ini sama sekali
tak signifikan. Hal ini bermakna, bahwa persatuan dikalangan rakyat Papua
semakin solid. Meski proyek-proyek pecah belah dan adu domba dari rejim
dilakukan semakin sering.
Sogokan rejim melalui “Otonomi Khusus” semakin disadari
oleh rakyat Papua sekedar sogokan dan ilusi semata. “Otonomi Khusus” telah
gagal memberikan kebebasan politik apalagi kesejahteraan bagi rakyat Papua.
Dalam banyak kejadian hanya mensisakan bangunan-bangunan sekolah yang tak di
isi oleh pengajar, atau pun gedung Puskemas tanpa dokter, dan sebagainya.
Secara ekonomi, hanya menguntungkan segelintir elit melalui proyek-proyek
infrastruktur, tapi tak menjawab pembangunan manusia Papua seutuhnya.
Keragaman suku yang lebih dari 250an suku serta belum
adanya “bahasa papua” tak bisa lagi dijadikan landasan belum ada Papua sebagai
sebuah “bangsa”. Atau pun pemecah belahan rakyat Papua sebagai sebuah Bangsa.
Karena, perkembangan pergerakan rakyat Papua menunjukan ikatan-ikatan yang
semakin erat dan bermakna secara sosial dan politik.
Mengapa? Tentu saja yang paling esensial dalam bagaimana
penindasan terhadap kebebasan politik (freedom of expression, freedom of association,
freedom of speech, dan freedom of thinking), eksploitasi terhadap alam melalui
berbagai perusahaan internasional (misalnya: Freeport) yang difasilitasi oleh
pemerintah Indonesia merusak lingkungan Papua. Belum lagi eksploitasi terhadap
manusia Papua, misalnya sebagai pekerja dengan upah yang lebih murah daripada
non Papua. Ataupun bagi hasil yang timpang. Perusahaan-perusahaan internasional
“merampok” begitu besar terhadap kekayaan alam dan kerja manusia di Papua.
Namun, bagi hasil yang kecil itu masih juga “dirampok” lebih besar lagi
pemerintah Indonesia.
Mari kita tengok bagaimana entitas papua berkembang dari
“embrio” menjadi bangsa yang semakin solid.
Demi kepentingan mencaplok keuntungan dari eksploitasi
alam pemaksaan dan manipulasi terhadap PEPERA dilakukan. Paska itu, mereka yang
menuntut kebenaran sejarah, mendapatkan represi dari tentara. Kepentingan
korporasi internasional dilapangkan oleh militerisme Orde Baru. Penghancuran
gerakan Fery Awom ditahun 1967. Arnorld Wap seorang aktifis dan seniman Papua
yang bergerak dalam gerakan kebudayaan di tahun 1984 akhirnya ditangkap oleh
Kopashanda. Mayat Arnold Ap ditemukan tergeletak di tengah hutan. Kemudian
disusul dengan pembunuhan di Enarotali, Obano, Moanemani dan Wamena akibatnya
sebanyak 10.000 Jiwa penduduk Papua lari ke Papua New Guinea (PNG) demi
menyelamatkan diri di tahun tahun 1977-1978 sampai awal 1980-an. Memberlakukan
status Daerah Operasi Militer (DOM) bagi Papua. DOM di Papua diberlakukan sejak
tahun 1978 sampai dengan tanggal 5 Oktober 1998. Di tahun 1988 DR. Thomas
Wanggai pendiri gerakan Papua Merdeka Bintang 16 berakhir dengan kematian di
Penjara. Kasus yang masih mendapatkan panggung politiknya untuk saat ini adalah
kasus Abepura yang mengakibatkan puluhan orang meninggal. Kasus Paniai
berdarah. Hal ini belum terhitung penembakan-penembakan lainnya terhadap
pejuang-pejuang demokrasi di Papua Barat. Pemenjaraan aktifis selama
bertahun-tahun termasuk di antaranya adalah Filep Karma. Pembunuhan terhadap
Mako Tabuni. Terakhir, lebih dari 1000 orang aktifis Papua, mayoritas
diantaranya adalah anggota KNPB ditangkap dan di tahan. Belum pula pembunuhan
oleh orang tak dikenal melalui senjata api atau ditabrak di tengah jalan. Bukannya, memberikan ruang demokrasi,
pemerintah Jokowi, melalui Luhut Panjaitan membiarkan penambahan Kodam dan
memberikan pernyataan-pernyataan yang diskriminatif dan anti rakyat Papua.
Secara ekonomi, sangat jelas terlihat penghisapan ekonomi
dari sumber daya alam yang sangat besar di Papua. Seperti yang terjadi di hutan
Wasior, eksploitasi kayu (illegal logging) secara besar-besaran yang dilakukan
oleh militer dan beberapa perusahaan lainnya mengakibatkan penggusuran terhadap
tanah adat masyarakat didaerah tersebut. Protes dari masyarakat adat kemudian
juga berakhir dengan penembakan dan mengakibatkan 6 orang meninggal dunia.
Belum lagi Mega proyek Freeport Macmooran company perusahaan yang mayoritas
modalnya berasal dari AS, mulai mengembangkan proyeknya sejak tahun 1960an.
Perusahaan tambang emas dan tembaga ini sebenarnya memberikan keuntungan dari
pajak industri mencapai US $ 700 juta – US $ 800 juta pertahun, bahkan dapat
mencapai lebih dari US $ 1 Miliar. Belum lagi berbagai suku di Papua kehilangan
tanah dan lahan penghidupan mereka karena adanya proyek MIFEE, sebagaimana yang
dialami oleh marga Mahuze di Merauke.
Sudah mengalami penindasan yang begitu keji dan perusakan alam yang mereka sebagai sebagai “Ibu” bangsa Papua. Rakyat Papua, mengalami diskriminasi rasial sebagaimana yang mereka alami di tanah Papua ataupun di luar seperti yang dialami oleh mahasiswa-mahasiswa Papua di Manado atau pun Yogyakarta, seperti yang baru-baru ini terjadi di Asrama Mahasiswa Papua di Kemasan Yogyakarta. Ataupun diskriminasi rasial di tempat kerja, baik di lembaga pemerintahan dan perusahaan.
Sudah mengalami penindasan yang begitu keji dan perusakan alam yang mereka sebagai sebagai “Ibu” bangsa Papua. Rakyat Papua, mengalami diskriminasi rasial sebagaimana yang mereka alami di tanah Papua ataupun di luar seperti yang dialami oleh mahasiswa-mahasiswa Papua di Manado atau pun Yogyakarta, seperti yang baru-baru ini terjadi di Asrama Mahasiswa Papua di Kemasan Yogyakarta. Ataupun diskriminasi rasial di tempat kerja, baik di lembaga pemerintahan dan perusahaan.
Belum cukup di situ, rakyat Papua semakin berkurang
jumlahnya. Data 2013/2014 mencatat jumlah orang asli Papua rata-rata 1,7juta
jiwa. Sedangkan non-Papua 2 juta jiwa. Data tahun 2015, hingga bulan Mei
dikabarkan tercatatat jumlah orang asli Papua 1,5 juta jiwa dan non-Papua 2,3
juta jiwa. Tidak hitung tahun, dalam beberapa bulan saja jumlah orang Papua
berkurang 200.000 (diambil dari statemen AMP).
Berkurangnya jumlah rakyat Papua disebabkan oleh
pembunuhan yang sistematis dan massif, atmosfer ketakutan yang dilakukan
tentara Indonesia yang mengakibatkan migrasi ke PNG, ataupun penyakit HIV/AIDS,
jebakan minum keras, ataupun busung lapar.Bagi rakyat Papua, hampir 50 tahun
menjadi Indonesia, bukan kebahagiaan yang di dapat melainkan penindasan fisik,
psikologis dan kehancuran “ibu” mereka. Lalu apa maknanya menjadi Indonesia?
Semakin tak ada maknanya. Semakin, tak rasa menjadi Indonesia. Dan itu
bermakna, semakin tumbuh perasaan senasib sendiri sebagai sebuah bangsa
(nation).
Hubungan ekonomi-politik kapitalisme di Papua
mengintegrasikan manusia-manusia di Papua dari berbagai suku dan marga di
pasar-pasar, di sekolah dan universitas, rumah sakit, dan tempat-tempat
perkumpulan lainnya. Namun, penindasan militeristik, kerusakan alam serta organisasi-organisasi
perlawanannya memberikan basis material perkembangan sebagai suatu Bangsa.
Sebagai kaum demokratik dan pembela hak asasi manusia (Human Rights Defenders), mengakui Papua sebagai sebuah Bangsa, mendukung serta memberikan solidaritas bagi hak menentukan nasib sendiri (self determination) melalui referendum untuk Bangsa Papua adalah cara agar lepas dari penindasan militeristik pemerintah Indonesia, agar kekerasan berkurang hingga berhenti, agar kedamaian, kebebeasan dan kesejahteraan bagi Tanah dan Bangsa Papua mendapatkan syarat materialnya.
Sebagai kaum demokratik dan pembela hak asasi manusia (Human Rights Defenders), mengakui Papua sebagai sebuah Bangsa, mendukung serta memberikan solidaritas bagi hak menentukan nasib sendiri (self determination) melalui referendum untuk Bangsa Papua adalah cara agar lepas dari penindasan militeristik pemerintah Indonesia, agar kekerasan berkurang hingga berhenti, agar kedamaian, kebebeasan dan kesejahteraan bagi Tanah dan Bangsa Papua mendapatkan syarat materialnya.
Oleh karena itu, kami, mengajak kawan-kawan baik organisasi ataupun individu yang telah bersetuju pada posisi mendukung Hak Menentukan Nasib Sendiri (Self Determination) melalui Referendum agar mengkonsolidasikan diri dan membangun alat/wadah perjuangan Solidaritas Rakyat Indonesia bagi Bangsa Papua Barat.
By. Voice Rebeller.
0 comments:
Post a Comment